Credit Default Swap (CDS) surat berharga negara (SBN) terus merangkak naik. Kenaikan CDS mengindikasikan adanya peningkatan persepsi terhadap risiko investasi. Namun, dana asing tercatat masih mengalir masuk ke pasar SBN.
Berdasarkan data per 26 Oktober, CDS SBN tenor 5 tahun berada di posisi 159,13, nyaris dua kali lipat posisi awal tahun yakni 85,32. Sementara itu, CDS tenor 10 tahun berada di posisi 227,19, juga lebih tinggi dibandingkan posisi awal tahun 154,4.
Adapun kepemilikan asing atas SBN tercatat sebesar Rp 859,12 triliun per 25 Oktober, naik Rp 8,27 triliun dari posisi akhir September yang sebesar Rp 850,85 triliun. Kepemilikan asing atas SBN juga naik Rp 22,97 triliun bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu yang sebesar 836,15 triliun.
Meskipun, bila dibandingkan dengan posisi tertinggi tahun ini yaitu Rp 880,2 triliun per 23 Januari, maka ada penurunan kepemilikan asing di SBN sebesar Rp 21,03 triliun. (Baca juga: Dana Asing Masuk SUN Rp 23 T, Gubernur BI Sebut Buah Kenaikan Bunga)
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai CDS masih dalam posisi yang relatif baik, lantaran tidak melonjak drastis. Hal ini menopang arus masuk dana asing. "Relatif oke dibanding ketika taper tantrum. Pada 2008 bahkan (CDS) sampai 20 persenan dan suku bunga SBN 20%," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (29/10).
Saat ini, imbal hasil (yield) SBN juga tercatat melonjak, namun lebih terkendali. SBN tenor 5 tahun berada di posisi 8,46% atau naik 249,7 basis poin dibandingkan posisi awal tahun ini, sedangkan yield SBN tenor 10 tahun berada di posisi 8,68%.
David menjelaskan, peningkatan CDS terimbas kenaikan bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang memicu aliran keluar dana asing (capital outflow) dari pasar keuangan domestik. Seiring ekonomi AS yang membaik, bunga AS berpeluang naik 100 basis poin lagi hingga tahun depan. "Investor menjadi tertarik ke aset dolar AS," ujarnya.
Selain kenaikan bunga AS, David juga menyebut kenaikan CDS terpengaruh oleh faktor defisit transaksi berjalan. Kondisi defisit menunjukkan pasokan valuta asing (valas) dari ekspor tidak mampu mengimbangi kebutuhan valas untuk impor. Hal ini membuat nilai tukar mata uang lebih rentan gejolak.
(Baca juga: Ancaman Berkepanjangan dari Defisit Transaksi Berjalan)
Ia menjelaskan, CDS Filipina juga mengalami kenaikan seperti Indonesia lantaran negara tersebut mengalami defisit transaksi berjalan. Di sisi lain, CDS negara yang mengalami surplus transaksi berjalan seperti Malaysia dan Thailand hanya mengalami sedikit kenaikan CDS.
Adapun arus masuk dana asing ke pasar SBN di tengah CDS yang merangkak naik dinilai David menunjukkan kepercayaan investor global terhadap kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Kebijakan BI yang konsisten mengerek bunga acuan untuk merespons kenaikan bunga AS dinilainya dapat memertahankan posisi CDS tidak melambung tinggi.