Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memaparkan perkembangan ekonomi Indonesia dalam empat tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi dan inflasi terjaga. Hal itu diikuti dengan perbaikan indikator-indikator sosial.
"Pertumbuhan ekonomi kita dari 2014 sampai 2017 itu meningkat, tapi pelan-pelan. Sampai semester 1 ini 5,27%," kata dia dalam Konferensi Pers 4 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (23/10). Menurutnya, capaian tersebut merupakan sebuah prestasi di tengah gejolak ekonomi global.
Secara rinci, pertumbuhan ekonomi pada 2014 sebesar 5,01% kemudian melambat menjadi 4,88% pada tahun berikutnya. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi merangkak naik menjadi 5,03%, lalu menjadi 5,07% pada 2017, dan semester I 2018 sebesar 5,27%.
Di sisi lain, tingkat inflasi dapat dikendalikan dalam rentang 3,5%. "Dulu inflasi double digit, dan dalam periode empat tahun terakhir kinerjanya jauh lebih stabil," ujar dia.
Hal itu seiring dengan inflasi pangan yang semakin terkendali. Pada 2014 lalu, inflasi pangan mencapai 10,88%, lalu turun menjadi 4,84% pada 2015, naik kembali menjadi 5,92% pada 2016, sebelum kemudian turun ke level yang rendah yaitu 0,71% pada 2017 dan 1,62% pada 2018.
Seiring kondisi tersebut, ia memaparkan tingkat kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran mengalami perbaikan. Tingkat kemiskinan berhasil turun hingga satu digit, yaitu 9,8% dari total penduduk pada Maret 2018.
Sebelumnya, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 10,96% pada 2014, kemudian meningkat menjadi 11,13% pada 2015. Setelah itu, tingkat kemiskinan menunjukkan penurunan, menjadi 10,7% pada 2016 dan 10,12% pada 2017.
(Baca juga: 4 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK: Berapa Anggaran Perlindungan Sosial?)
Tingkat ketimpangan yang tercermin dari rasio gini tercatat berada di level 0,389 pada Maret 2008, membaik dalam tujuh sampai delapan tahun terakhir. Rasio gini berada di level 0,414 pada 2014; 0,402 pada 2015; 0,394 pada 2016; dan 0,391 pada 2017.
Kemudian, tingkat pengangguran berada di level 5,13% pada Februari 2018. Angka pengangguran ini merupakan level terendah sejak krisis 1998. Bila dibandingkan dengan posisi Agustus 2017, angka pengangguran menyusut 170 ribu orang menjadi 6,87 juta orang.
Lebih lanjut, Darmin memaparkan perkembangan di berbagai sektor dari mulai infrastruktur, pangan dan pertanian, ketahanan energi, pemerataan ekonomi, ekonomi kreatif dan digital, serta investasi dan perdagangan.
Pertama, infrastruktur. Selama empat tahun pemerintahan, telah dibangun jalan tol sepanjang 310 kilometer, jalur kereta api 441 km, 5 Bandara baru, 410 pelabuhan baru, 9.653 layanan SPAM, dan 366.404 jaringan irigasi. Adapun lewat pembangunan infrastruktur, Darmin menjelaskan, fokus pemerintah adalah transformasi ekonomi tanpa harus melakukan perpindahan orang dari pertanian ke industri.
(Baca juga: BPK Bantah Ada Kebocoran Anggaran Infrastruktur Rp 45 Triliun)
Kedua, pangan dan pertanian. Ketahanan pangan Indonesia disebut membaik. Hal itu tercermin dari Global Food Securiti Index (GFSI) Indonesia yang naik dari 49,2 pada 2014 menjadi 54,8 pada 2018. Seiring hal tersebut peringkat GFSI Indonesia membaik menjadi posisi 65 dari 113 negara pada tahun ini dari peringkat 72 pada 2014 lalu. Sementara itu, kontribusi sektor pertanian tercatat meningkat dari 13,34% pada 2014 menjadi 13,63% pada 2018.
Ketiga, ketahanan energi. Akses masyarakat terhadap tenaga listrik juga disebut meningkat. Pada 2014, rasio elektrifikasi baru mencapai 84,35%, sementara pada kuartal III 2018 telah mencapai 98,05%. Rasio elektrifikasi ditargetkan mencapai 99,9% pada 2019 mendatang. Hal itu seiring dengan capaian kapasitas terpasang pembangkit listrik yang naik dari 53 giga watt (GW) pada 2014 menjadi 62,4 GW per kuartal III 2018.
Di sisi lain, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai 12,3% pada 2018, dan akan terus ditingkatkan hingga mencapai target 23% di 2025 sesuai Rencana Umum Energi Nasional. Dengan perkembangan tersebut, maka komposisi penggunaan sumber energi di Tanah Air per kuartal III 2018 yaitu batu bara 59,2%, gas bumi 22,3%, EBT 12,3%, dan bahan bakar minyak (BBM) 6,2%.
Keempat, pemerataan ekonomi. Pemerintah menjalankan program reforma agraria. Reformasi agraria dilakukan melalui legalisasi aset tanah masyarakat, redistribusi lahan, pemberian akses pemanfaatan lahan kehutanan dengan skema perhutanan sosial dan moratorium perkebunan kelapa sawit. Program tersebut juga mencakup pemberdayaan ekonomi melalui penyediaan bantuan sarana produksi, modal, pemasaran, dan keterampilan usaha.
Untuk legalisasi aset, pemerintah mencatat telah dilakukan setifikasi tanah rakyat melalui PTSL sebanyak 7,12 juta bidang per Juli 2018 atau setara 1,78 juta hektar. Selain itu, sertifikasi tanah transmigrasi sebanyak 26.908 bidang atau setara 28.225 hektar. Sementara itu, pembukaan akses untuk pemanfaatan lahan kehutanan telah dilakukan terhadap 67 ribu hektar hutan di Pulau Jawa, dan 2 juta hektar di luar Pulau Jawa.
Program pemerataan ekonomi lainnya mencakup program peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas, pengembangan pendidikan vokasi, hingga peningkatan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR). Khusus KUR, jumlah penyaluran sepanjang 2015-2018 tercatat sebesar Rp 313,89 triliun dengan jumlah debitor sebanyak 13,3 juta.
Kelima, pengembangan ekonomi kreatif dan digital. Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan untuk mendorong pengembangan ekonomi kreatif dan digital melalui pembuatan Peraturan Presiden mengenai peta jalan (road map) e-commerce. Selain itu, ada juga peraturan terkait financial technology yang dikeluarkan otoritas terkait.
(Baca juga: Diminati Milenial, Target Kontribusi Ekonomi Kreatif Rp 1.105 Triliun)
Keenam, investasi dan perdagangan. Daya saing investasi Indonesia dinilai telah meningkat secara gradual, baik secara umum maupun sektor infrastruktur. Hal itu tercermin dari peringkat Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia yang berada di level 45 pada 2018, lebih baik dibandingkan Filipina (ke-56) dan Vietnam (ke-77). Secara khusus, peringkat daya saing infrastruktur tercatat membaik dari posisi 61 pada 2013-2014 menjadi posisi 52 pada 2017-2018.
Peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) Indonesia juga disebut membaik dari peringkat 106 pada 2015 ke posisi 72 pada 2018, alias naik 34 peringkat dalam tiga tahun. Untuk mendorong kemudahan berbisnis, pemerintah juga telah meluncurkan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS). Pemerintah mengklaim Sistem OSS memberikan layanan 24 jam dalam seminggu (tetap menerbitkan perizinan berusaha pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur).
Dalam hal logistik, pemerintah mengakui perlunya pengembangan lebih lanjut. "Kita harus kembangkan segera yang namanya logistik. Kita masih perlu meningkatkannya," kata Darmin. Berdasarkan catatan pemerintah, logistics performance index (LPI) Indonesia hanya meningkat tipis dari skor 3,08 pada 2014 menjadi 3,15 pada 2018. Dengan perkembangan tersebut peringkat LPI Indonesia naik dari posisi 53 menjadi 46.
Peningkatan skor LPI 2018, terjadi pada lima komponen: infrastruktur, pengapalan internasional, kualitas dan kompetensi logistik, tracking dan tracing; dan ketepatan waktu. Sementara itu, komponen custom yang mengalami sedikit penurunan.