Sanksi penahanan ekspor yang dilakukan pemerintah pada 2011 hendak diterapkan lagi pada tahun ini. Disinsentif ini bertujuan supaya eksportir tergerak untuk menyimpan seluruh devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, opsi sanksi tambahan sedang dipertimbangkan. Sekitar tujuh tahun lalu, pemerintah sempat memutuskan untuk tidak melayani aktivitas eksportir yang enggan menyimpan DHE di bank domestik.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak berjalan sendiri melainkan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) negara lain. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Bank Indonesia dipastikan terlibat.

"Nanti kami lihat koordinasi yang sudah dibentuk pada rapat terakhir (lintas K/L). Kami masih lakukan beberapa tahap lagi," kata menkeu ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (31/8).

(Baca juga: Pengusaha Menilai Pemerintah Akan Sulit Tarik Devisa Hasil Ekspor)

Kebijakan terkait DHE bertujuan menjaga neraca pembayaran terutama pada sisi neraca transaksi perdagangan dan transaksi berjalan. Keduanya sejauh ini tercatat defisit, yakni defisit transaksi berjalan (current account deficit / CAD) per triwulan kedua tahun ini mencapai US$ 8 miliar setara 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun, neraca perdagangan per Juli juga defisit sebesar US$ 2,03 miliar atau sekitar Rp 29,4 triliun.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono sebelumnya menyatakan, guna mendorong eksportir memarkir devisa ekspornya di dalam negeri maka perlu tambahan sanksi. "Kalau mau lebih efektif lagi perlu dipikirkan instrumen lain supaya compliance tinggi, salah satunya dengan enforcement," ujar dia.

Sikap pemerintah tidak melayani eksportir yang membandel pada 2011 diklaim efektif. "Dulu sangat efektif. Dulu tingkat kepatuhannya sudah sangat tinggi. Sekarang saya enggak tahu angkanya. Tapi kemarin katanya 80% sampai 85%," imbuh Susiwijono.

Disinsentif yang hendak diterapkan pemerintah juga mempertimbangkan hasil evaluasi langkah Bank Indonesia berupa pelonggaran batasan pengajuan transaksi FX swap hedging. Apabila upaya bank sentral dianggap kurang ampuh maka sanksi penahanan ekspor berpeluang diterapkan kembali.

BI sempat menurunkan batasan pengajuan minimum transaksi FX swap hedging dari US$ 10 juta menjadi US$ 2 juta. Transaksi forex swap lindung nilai ini dapat dilakukan dalam mata uang yen Jepang, dolar AS, Euro, dan yuan Tiongkok. Tenor yang tersedia ialah 3 bulan, 6 bulan, dan setahun dengan tingkat premi yang diumumkan sebelum transaksi.

Selain menurunkan batas pengajuan minimum transaksi FX swap hedging, bank sentral juga hendak memberikan batas atas premi swap ini. Sebagai contoh, BI memberikan premi 5% supaya perbankan bisa mematok di bawah angka ini.

(Baca juga: Batasan Minimum Transaksi Swap Lindung Nilai Turun Jadi US$ 2 Juta)

Pada waktu mendatang diharapkan semakin banyak eksportir yang menukarkan valasnya melalui perbankan domestik, bukan di pasar spot. Cara ini diharapkan dapat membantu upaya stabilisasi nilai tukar rupiah yang terdepresiasi dolar Amerika Serikat (AS).

Bank sentral sejatinya telah mengatur pengenaan sanksi di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan DHE dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Sanksi administratif yang tersedia, semisal denda 0,5% dari nominal DHE yang belum diterima. Nominal maksimal Rp 100 juta dalam satu bulan pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

Di dalam pertemuan antara pemerintah dengan dunia usaha yang diwakili Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pada pertengahan Agustus sempat terlontar, pebisnis siap meningkatkan komitmen mereka untuk membawa devisa ekspor ke Tanah Air. Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani mengakui, DHE yang masuk ke dalam negeri sekarang baru sekitar 80%.

"Masih ada 20% yang belum masuk ke Indonesia. Tentu kami, pengusaha, ingin membantu untuk menguatkan rupiah dengan menukarkan devisa valas ke mata uang rupiah. Kami apresiasi juga bank nasional yang tidak ambil cost tambahan dari swap," ujarnya.

(Baca juga: Dorong Konversi Devisa Ekspor, Fasilitas Hedging Perlu Dikaji Ulang)