Pemerintah irit menyerap dana dari lelang surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN) lantaran tingginya imbal hasil (yield) yang diminta calon investor. Pemerintah pun mengurangi target penerbitan SBN neto dan menambah target pinjaman untuk membiayai defisit anggaran 2018.
Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting mengatakan, sejauh ini, pemerintah menambah pinjaman US$ 500 juta atau sekitar Rp 7 triliun dari lembaga multilateral. Pinjaman tersebut akan mengurangi target penerbitan SBN neto tahun ini. "Sehingga SBN neto yang semula Rp 414,5 triliun akan berkurang menjadi Rp 407,2 triliun," kata dia kepada Katadata.co.id pada Senin (11/6).
(Baca juga: Lelang Surat Utang Sepi, Pinjaman Asing Bisa jadi Opsi Biayai APBN)
Lelang SBN agak terganggu belakangan seiring dengan kenaikan imbal hasil surat berharga Amerika Serikat (AS) atau US Treasury. Kenaikan yield US Treasury membuat arus keluar modal asing dari negara lain, terutama negara berkembang seperti Indonesia sekaligus mengerek ekspektasi yield SBN negara-negara yang dimaksud.
Imbasnya, permintaan dalam lelang SBN sempat turun. Belakangan, permintaan kembali naik namun yield yang diminta kelewat tinggi sehingga pemerintah tak menyerap banyak. Sebagai contoh, lelang SBN 5 Juni lalu, pemerintah menargetkan penyerapan maksimal Rp 15 triliun. Namun, pemerintah hanya menyerap Rp 11,7 triliun, padahal total permintaan yang masuk mencapai Rp 29,31 triliun. Sebelumnya, Pemerintah bahkan sempat tidak menyerap satu rupiah pun dalam lelang SBN yang digelar pada 8 Mei.
Selain menggeser ke pinjaman multilateral, pemerintah juga mengunakan strategi penerbitan SBN nonlelang melalui private placement atau penempatan langsung oleh swasta. Sepanjang tahun ini telah ada beberapa kali private placement SBN, terakhir sebesar Rp 3,6 triliun pada 6 Juni lalu.
(Baca juga: Investor SBN Minta Return Tinggi, Biaya Utang Pemerintah Akan Membesar)
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pinjaman luar negeri di antaranya dari lembaga multilateral memang dapat menjadi alternatif pembiayaan di tengah kondisi global yang belum pasti. Apalagi, dalam beberapa bulan ke depan, yield SBN masih berpotensi meningkat. Maka itu, pemerintah tidak bisa hanya bergantung pada SBN.
"Kalau ada back up plan rencana kontingensi dari utang luar negeri ya justru sah-sah saja," ujarnya. Menurut dia, alternatif pembiyaaan tersebut cukup bagus walaupun memiliki prasyarat yang lebih ketat dibandingkan SBN.
Adapun yield SBN tenor 10 tahun tercatat tinggi yaitu di kisaran 7,2%, jauh di atas posisi awal tahun yang sebesar 6,3%. Meskipun, sudah lebih rendah dibandingkan posisi sebelumnya yang sempat menyentuh 7,5%.
Hingga April, realisasi penerbitan SBN neto tercatat Rp 189,70 triliun atau 45,76% dari target dalam APBN yang sebesar Rp 414,52 triliun (sebelum diturunkan menjadi Rp 407,2 triliun). Sedangkan, pinjaman luar negeri bruto Rp 17,56 triliun atau 34,21% dari target Rp 51,35 triliun.