Tiga Optimisme Gubernur BI Terhindar dari Serangan Krisis Ekonomi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan pemaparan saat seminar ekonomi internasional di Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (28/4). Seminar yang diselenggarakan Bank Indonesia itu membahas tentang pandangan ekonomi global dari perspektif ASEAN.
Penulis: Rizky Alika
28/5/2018, 07.06 WIB

Karena rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat hingga menembus level 14.000 dalam dua pekan terakhir, banyak pihak mengkhwatirkan krisis ekonomi akan mendera Indonesia kembali layaknya 1998. Namun tidak bagi Perry Warjiyo. Gubernur Bank Indonesia (BI) ini, dilantik Kamis pekan lalu, menampik kekhawatiran tersebut.

Menurutnyam ekonomi Indonesia tidak dalam posisi memasuki “lampu kuning” krisis. Optimismenya dilandaskan pada tiga indikator. Pertama, ekonomi suatu negara dikatakan krisis apabila defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) tidak terkendali. “Indonesia aman, tidak lebih dari tiga persen (dari PDB),” kata Perry di kantornya, Jakarta, Jumat (25/5). 

Pada kuartal pertama kemarin, bank sentral melaporkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 5,5 miliar atau 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini menurun dari kuartal terakhir 2017 yang masih 2,3 persen senilai US$ 6,0 miliar. Kondisi tersebut pun diyakini mampu menopang ketahanan sektor eksternal perekonomian Indonesia. (Baca: Menepis Kekhawatiran Hantu Krisis 1998).

Menurut Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Arbonas Hutabarat, penurunan defisit transaksi berjalan ketika itu terutama dipengaruhi oleh penurunan defisit neraca jasa dan peningkatan surplus neraca pendapatan sekunder.

Penurunan defisit neraca jasa ini dipicu signifikan oleh kenaikan surplus jasa perjalanan seiring naiknya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan menurunnya impor jasa pengangkutan. Adapun peningkatan surplus neraca pendapatan sekunder seiring dengan naiknya penerimaan remitansi dari pekerja migran Indonesia.

Walau demikian, neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-April 2018 defisit US$ 1,31 miliar. Hal ini yang diduga menjadi salah satu pemicu melemahnya rupiah hingga mendekati 14.200 per dolar Amerika. Sementara cadangan devisa sampai akhir April 2018 mencapai US$ 124,86 miliar.

Optimisme kedua yang dibangun Perry yakni terkait utang luar negeri. Saat ini, Indonesia tidak dalam posisi tidak mampu membayar utang. Ketidakmampuan untuk membayar utang merupakan indikator lain krisis ekonomi suatu negara.

BI melansir utang luar negeri Indonesia sebesar US$ 358,7 miliar atau sekitar Rp 5.043 triliun pada akhir Maret 2018, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang US$ 357,19 triliun atau sekitar Rp 4.929,2 triliun. Secara tahunan atau year on year (yoy), jumlah tersebut naik 8,7 persen, lebih pesat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama 2017 sebesar 2,9 persen.

Meski begitu, rasio utang terjaga di kisaran 34,77 persen terhadap PDB. “Debt problem yang seperti itu terkait fundamental,” kata Perry. Rasio utang tersebut memang jauh dari batas maksimal 60 persen terhadap PDB dan juga lebih rendah dari rata-rata beberapa negara peers.

Total utang luar negeri Indonesia terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan bank sentral US$ 184,69 miliar serta utang swasta US$ 174,05 miliar. Untuk utang pemerintah dan bank sentral dalam tiga bulan pertama tahun ini meningkat US$ 4,06 miliar (2,25 persen) dari posisi Desember 2017, sementara utang swasta meningkat US$ 1,34 miliar (0,78 persen).

Walaupun utang luar negeri meningkat, tapi PDB Indonesia juga membesar hingga US$ 16,3 miliar (1,6 persen) menjadi US$ 1.031,87 miliar pada triwulan satu tahun 2018, lebih tinggi dari triwulan keempat tahun lalu US$ 1.015,57 miliar. (Lihat: Kondisi Utang Luar Negeri Indonesia 1998 dengan 2017).

Indikator terakhir, Perry optimistis terkait depresiasi rupiah. Menurutnya, tingkat depresiasi rupiah secara year to date (ytd) sebesar 4,3 persen atau rendah dibandingkan negara lain. Jika dibandingkan dengan CAD, tingkat rupiah depresiasinya relatif rendah.

Selain itu, Perry menilai Indonesia sudah melalui berbagai tekanan, seperti masa temper tantrum pada 2013 dan tekanan dari revisi pertumbuhan perekonomian Tiongkok 2015. “Sekarang jauh lebih kecil dari episode-episode tadi,” ujar dia. Walau demikian, dia menegaskan BI akan selalu waspada dan konsisten dengan perhitungan yang dilakukan untuk langkah stabilisasi nilai tukar.

Bila dibandingkan dengan krisis 1998, rupiah sempat melemah hingga 16.650 per dolar. Namun, neraca perdagangan triwulan kedua ketika itu masih surplus US$ 1,2 miliar dan neraca transaksi berjalan surplus US$ 670 juta. Hanya saja, cadangan devisa kala itu hanya US$ 18,99 miliar.

Saat ini, membaiknya ekonomi Amerika membuka ruang bagi kenaikan suku bunga The Fed hingga tiga kali lagi hingga akhir tahun yang memicu terapresiasinya dolar terhadap mata uang utama dunia.

Ketidakpastian pasar finansial global terkait kenaikan suku bunga The Fed masih menjadi fokus utama para pelaku pasar. Mereka mencoba mengalihkan dana kelolaannya dari mata uang yang dianggap berisiko ke yang aman (safe haven) seperti dolar Amerika maupun yen Jepang. Nilai tukar rupiah untuk kontrak satu bulan ke depan berada di level 14.250 dan kontrak tiga bulan ke depan 14.419.