Menepis Kekhawatiran Hantu Krisis 1998

Muchamad Nafi
3 Maret 2018, 10:00
Gedung
Donang Wahyu|KATADATA

Dalam perbincangan ekonomi, perputaran waktu dengan angka delapan seakan memiliki daya magis tersendiri, terutama dikaitkan dengan krisis atau sekadar resesi. Pada 1998, Indonesia dilanda krisis moneter, yang juga menyapu sebagian besar negara-negara Asia Timur. Ekonomi Tanah Air terpukul parah hingga menyeret Presiden Soeharto turun tahta.

Setelah 20 tahun, peristiwa kelabu tersebut kadang masih membayangi para pelaku usaha, juga pemerintah. Ada kekhawatiran siklus 10 tahun terulang pada 2018 ini sebagaimana krisis keuangan 2008 yang dipicu oleh kredit hipotek sektor perumahan di Amerika Serikat yang kemudian dikenal sebagai subprime mortgage.

Masih kentalnya ingatan akan krisis 1998 yang menumbangkan belasan bank Indonesia setidaknya terlihat dari seminar internasional yang digelar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Rabu lalu (28/02/2018). Tema yang diusung “20 Years Asian Financial Crisis, Strengthening Infrastructures, for Financial Crisis Resolution”.

Pada kesempatan itu, Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menyampaikan perspektif optimistisnya akan masa depan Indonesia. Dia menekankan bahwa negara ini sudah matang dalam menghadapi kemungkinan munculnya krisis ekonomi. Ada beberapa hal yang membuatnya yakin atas pandangan tersebut.

Satu di antaranya yaitu perangkat hukum yang memadai melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). “Setelah krisis Asia, kita banyak melakukan perubahan aturan permainan di perbankan. Lalu terbentuk Otoritas Jasa Keuangan,” kata Halim.

Dengan keberadaan undang-undang tersebut, dia yakin Indonesia satu langkah lebih maju dibandingkan negara lain. Tak banyak negara yang menyiapkan payung hukum serupa. Karenanya, berbagai gejolak yang bakal terjadi tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. (Baca juga: Indonesia Siap Hadapi Krisis).

Walau pertumbuhan nasional tahun lalu cukup lambat di level 5,07 persen, namun trennya membaik. Pada 2015, ekonomi hanya tumbuh 4,88 persen, lebih rendah dari posisi tahun sebelumnya di level 5,01 persen. Namun pada 2016 mulai menanjak ke posisi 5,03 persen. Bagi Halim, torehan tersebut tidak terlalu buruk. Perbankan mulai merasakan berkahnya. Sektor ini cukup stabil dan sedang terjadi konsolidasi. Permintaan kredit makin meningkat.

Melihat beberapa indikator tersebut, bagi Halim, penilaian krisis ekonomi terjadi setiap 10 tahun sekali kurang berdasar. “Memang terjadi perlambatan tapi sejak pertengahan tahun lalu sudah ada tanda-tanda perbaikan. Dari sisi perbankan sangat likuid,” ujar Halim.

Rasa optimisme juga disuarakan Agus Martowardojo. Gubernur Bank Indonesia ini meyakini stabilitas ekonomi Indonesia terjaga meski ada perhelatan politik besar dan kecemasan siklus krisis sepuluh tahunan. Optimisme tersebut bersandar pada sejarah dan data-data ekonomi domestik.

Dalam 15 tahun terakhir, kata Agus, stabilitas ekonomi terjaga di tengah pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Bank sentral akan menerapkan kebijakan makroprudensial yang mampu merespons dengan cepat perubahan situasi ekonomi. “Istilahnya ahead of the curve. Harus secepatnya kami respons,” kata Agus. 

Keyakinan Indonesia kalis dari siklus krisis sepuluh tahunan juga dilandasi oleh fundamental ekonomi yang kuat. Pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca pembayaran, fiskal, cadangan devisa, dan transaksi berjalan, menurut Agus, dalam kondisi yang baik. (Baca juga: Ada Risiko Tahun Politik dan Siklus Krisis, BI Yakin Ekonomi Stabil).

Hanya, risiko yang perlu diwaspadai saat ini yaitu arus keluar modal asing ke negara-negara maju. Hal ini terkait dengan arah strategi Amerika Serikat, misalnya, yang mulai memperketat kebijakan moneternya. Negeri Paman Sam hendak menaikkan suku bunga bak sentral, Fed Rate, sejalan membaiknya ekonomi negara tersebut.

Faktor eksternal ini yang juga menjadi sorotan Halim. Gejolak di luar negeri mesti diwaspadai. Sebab, krisis finansial dapat dengan mudah menular antarnegara seiring dengan penguatan integrasi keuangan akibat globalisasi.

Krisis 2008 bisa menjadi contoh. Ketika itu, masa resesi berhembus dari Amerika Serikat yang dipicu oleh kredit hipotek sektor perumahan. Gelombang kepanikan ini menyebar ke Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Untuk menghadapi efek buruk “demamnya” Amerika, banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan perubahan struktural terkait regulasi finansial, pengelolaan krisis, dan infrastruktur ekonomi.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...