Bank Indonesia (BI) memprediksi neraca perdagangan Indonesia berbalik surplus pada Agustus dari kondisi defisit US$ 271,2 juta pada Juli. Perbaikan tersebut didukung oleh kenaikan harga komoditas tambang yang menjadi andalan ekspor Indonesia.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, harga komoditas tambang, misalnya batu bara menunjukkan peningkatan sepanjang Agustus sehingga mendorong kinerja ekspor terkait. Alhasil, neraca dagang bukan minyak dan gas (non-migas) kemungkinan bakal mengalami perbaikan.

"Estimasi BI kemungkinan (neraca dagang Agustus) surplus dari ekspor terutama. Angkanya kami masih belum ada, tapi pehitungannya masih lebih baik dari Juli," kata Dody usai Rapat Kerja dengan Badan Anggaran di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (14/9). (Baca juga: Indonesia dan Uni Eropa Bahas Isu Sawit di Perundingan Dagang Ketiga)

Di sisi lain, kinerja ekspor produk manufaktur belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. “Kalau produk manufaktur masih butuh waktu, karena proses konsolidasi masih terjadi," kata dia. 

Sementara itu, dari sisi impor, ia mencatat masih ada peningkatan meski tidak signifikan. Sebab, efek dari Hari Raya Idul Fitri sudah berakhir, maka transaksi dagang kembali pada kondisi normal.

Ke depan, impor tergantung pada investasi di dalam negeri ataupun kegiatan ekspor. Sedangkan impor barang konsumsi diprediksi bakal kembali naik di akhir tahun karena adanya natal dan tahun baru.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan neraca dagang Agustus bakal surplus sekitar US$ 600 juta. "Didorong oleh komoditas," kata dia kepada Katadata.

Selain batu bara, harga komoditas karet juga tercatat naik. Hal itu diklaim seiring dengan peningkatan permintaan dari industri otomotif. Namun, kenaikan harga komoditas tersebut belum tentu terus berlanjut. (Baca juga: Indonesia Andalkan Otomotif untuk Tutup Defisit dengan Vietnam)

Ia mengimbau, jika pemerintah ingin efek dari harga komoditas ini tetap positif terhadap ekspor maka Indonesia harus konsisten dalam menjajaki kerja sama jalur sutera modern one belt one road (OBOR) yang diinisiasi Cina. "Sekarang kan belum ada kepastian," kata David.

Pada Juli, defisit neraca dagang mengalami defisit US$ 271,2 juta lantaran impor naik lebih tinggi dari ekspor. Nilai ekspor tercatat hanya US$ 13,62 miliar atau naik 41,12% secara tahunan (year on year/yoy). Sementara nilai impor tercatat sebesar US$ 13,89 miliar atau naik 54,02%.

Tingginya impor tersebut disebabkan oleh kenaikan signifikan impor bahan baku atau penolong dan barang modal. Impor bahan baku atau penolong naik 52,94% secara tahunan. Sedangkan impor barang modal naik 62%.