Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2017 tentang Penilaian Kembali Barang Milik Negara atau Daerah. Menindaklanjuti aturan ini, Kementerian Keuangan langsung merespons dengan menghitung kembali nilai aset pemerintah yang ada.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Issa Rachmatarwata mengatakan salah satu motivasi penghitungan ulang tersebut untuk mempercepat penggunaan aset negara. Salah satunya untuk dijadikan jaminan (underlying asset) dalam penerbitan sukuk atau Surat Berharga Suariah Negara (SBSN).
"Semoga pemanfaatannya sebagai underlying asset akan lebih efisien," kata Issa saat membuka peluncuran Perpres Revaluasi BMN di Jakarta, Selasa (29/8). (Baca: DPR Restui 10 Ribu Aset Negara Jadi Jaminan Surat Utang Syariah)
Issa mengatakan pelaksanaan revaluasi Barang Milik Negara akan dilakukan di sepanjang tahun 2017 hingga tahun 2018 mendatang. Selain sebagai underlying asset, dia menjelaskan penilaian ulang juga dilakukan agar pemerintah mendapatkan nilai aset terkini. "Jadi tahu mana yang idle dan belum termanfaatkan optimal," katanya.
Pemerintah terakhir kali melakukan perhitungan aset negara pada 10 tahun lalu. Hasil perhitungan saat itu, total nilai aset negara yang ada sebesar Rp 229 triliun. Dari data Kemenkeu, nilai laporan BMN tahun 2016 yang telah diaudit mencapai Rp 2.188 triliun yang tersebar di 87 Kementerian dan Lembaga. Penghitungan ulang ini akan dilakukan atas 934.409 item BMN yang terdiri dari 108 ribu bidang tanah, 391 ribu item jalan, irigasi, serta jaringan serta 434 ribu item gedung.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama mengatakan salah satu persyaratan negara yang lebih maju terlihat dari cara pemerintahnya mengelola aset. Dia juga ingin melihat aset-aset pemerintah yang ada dapat diberdayakan dan bukan hanya masuk neraca.
"Entah dia menimbulkan jasa dan pelayanan, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.
Oleh sebab itu Kemenkeu mengundang seluruh K/L untuk mengawal proses penilaian ulang melalui Inspektorat Jenderalnya masing-masing, agar tidak timbul kekacauan laporan keuangan K/L usai nilai aset diperbaharui. Dalam melakukan perhitungan ini pemerintah tetap mengutamakan prinsip akuntansi yang baik.
(Baca: Sri Mulyani: Utang Negara Bertambah, Masih Lebih Rendah dari G20)