Bank Indonesia (BI) meyakini ekonomi bisa tumbuh di atas 5,2% pada paruh kedua tahun ini atau lebih tinggi dibanding paruh pertama yang sebesar 5,01%. Imbas Ramadan dan Lebaran diklaim masih terasa di semester II.

Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengatakan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga belum terlalu kuat pada kuartal II sekalipun ada Ramadan dan Lebaran. Maka itu, diduga konsumsi akan membaik di kuartal III.

“Dalam banyak hal ada sejumlah kegiatan di kuartal II yang berkontribusi dan itu bergeser ke kuartal III,” ujar dia di sela-sela Seminar Nasional Big Data di Gedung BI, Jakarta, Rabu (9/8). (Baca juga: Sri Mulyani Andalkan Rastra dan Dana Desa untuk Dongkrak Daya Beli)

Berdasarkan survei konsumen BI, memang ada indikasi optimisme konsumen meningkat yang tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juli 2017 yang naik satu poin dari bulan sebelumnya menjadi sebesar 123,4.

Meningkatnya optimisme konsumen terutama didorong oleh membaiknya ekspektasi konsumen terhadap kondisi kegiatan usaha dan penghasilan, serta ketersediaan lapangan kerja untuk enam bulan ke depan.

Indeks ekspektasi konsumen terhadap kondisi kegiatan usaha naik 3,5 poin menjadi 138,2. Sementara itu, indeks ekspektasi penghasilan naik 2,9 menjadi 144,6  dan indeks ekspektasi ketersediaan lapangan kerja naik 1,3 poin menjadi 138,2.

Di sisi lain, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini turun disebabkan oleh penurunan indeks ketepatan waktu pembelian barang tahan lama (durable goods) sebesar 3,1 poin menjadi 114,4, dan penurunan indeks penghasilan sebesar 0,1 poin menjadi 126,9.

Agus menambahkan, guna mendorong pertumbuhan ekonomi pihaknya juga akan menjabaga nilai tukar rupiah dan inflasi di level yang sesuai. “Itu adalah tugas kami,” kata dia. (Baca juga: Faisal Basri: Pemerintah Jangan Fokus Atur Harga Pangan Murah)

Adapun konsumen memperkirakan tekanan kenaikan harga dalam enam bulan mendatang meningkat. Indikasinya terlihat dari kenaikan Indeks Ekspektasi Harga (IEH) enam bulan mendatang yang naik empat poin menjadi 171,5.

“Meningkatnya ekspektasi kenaikan harga tersebut terutama dipengaruhi oleh kekhawatiran responden terhadap kemungkinan adanya kenaikan harga yang diatur oleh pemerintah (administered prices),” demikian tertulis.