Banyaknya permintaan agar pemerintah tak menambah utang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kebingungan. Sebab, bila hal itu dilakukan maka pemerintah harus memangkas belanja besar-besaran.

Ia menerangkan, tahun ini, belanja negara dipatok Rp 2.133,3 triliun. Sedangkan pendapatan negara diproyeksi sebesar Rp 1.736,1 triliun. Artinya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit sebesar Rp 397,2 triliun. (Baca juga: Sahkan Revisi APBN 2017, DPR Minta Pemerintah Waspadai Defisit)

"Kalau ingin APBN tanpa utang maka saya potong belanja Rp 397,2 triliun. Itu balance (imbang) kan?" kata dia dalam acara Forum Merdeka Barat bertajuk "Utang: Untuk Apa dan Siapa?" di Kementerian Komunikasi dan Informasi, Jakarta, Kamis (27/7).

Persoalannya, belanja apa yang bisa dipangkas? Gaji pegawai negeri sipil (PNS) misalnya, harus dibayar. Di sisi lain, alokasi belanja pendidikan dan kesehatan sudah dipatok masing-masing sebesar 20% dan 5% dari total APBN. Subsidi energi juga tak bisa serta merta dipangkas.

"Gaji enggak mungkin saya potong kan? (Anggaran) sekolah saya potong enggak? Kesehatan perlu saya potong? Subsidi boleh dipotong enggak? Katanya, 'sudah mahal, jadi enggak boleh dipotong'. Jumlah saja semua. Mana yang bisa saya potong?" ujar dia.

Persoalan lainnya, pemerintah membutuhkan dana untuk membangun infrastruktur untuk mendorong perekonomian. Apalagi, investasi di bidang infrastruktur saat ini terbilang rendah, hanya 35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh menurun dibanding 20 tahun lalu yang mencapai 60% terhadap PDB. (Baca juga: Sri Mulyani: Utang Kita Lebih Rendah Dibandingkan Malaysia & Thailand)

Selain itu, minimnya infrastruktur, misalnya yang terkait sarana transportasi, membuat biaya hidup masyarakat jadi mahal. Maka itu, permintaan sejumlah pihak agar pemerintah tidak menambah utang membuat Sri Mulyani bingung. Ditambah lagi, penerimaan negara khususnya dari pajak juga sulit didorong untuk naik tinggi. (Baca juga: Ditjen Pajak Intip Rekening, Target Kenaikan Rasio Pajak Bisa Tercapai)

Atas dasar itu, ia pun menekankan pentingnya membiayai belanja dengan utang. Toh, bila utang dimanfaatkan dengan baik bisa menguntungkan negara. Ia mencontohkan, utang untuk pembiayaan infrastruktur akan menarik minat investasi sehingga berdampak terhadap perekonomian.

Lalu, utang untuk pendidikan dan kesehatan juga diharapkan memperbaiki kualitas hidup anak Indonesia. Dengan begitu, ke depan, anak-anak Indonesia diharapkan bisa menjadi generasi bangsa yang produktif.

Sebelumnya, pandangan negatif mengenai lonjakan utang pemerintah muncul dari berbagai pihak, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam sidang paripurna di DPR, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto bahkan meminta pemerintah menyusun APBN tanpa utang.

Menurut dia, defisit anggaran yang ditetapkan sebesar Rp 397,2 triliun atau 2,92% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah “lampu kuning”. Sebab, batas defisit anggaran yang diperbolehkan undang-undang hanya 3% dari PDB. Ia pun khawatir kondisi tersebut bisa memicu krisis seperti yang terjadi pada 1997/1998. (Baca juga: Sri Mulyani Revisi APBN 2017, Ekonom Dukung Pelebaran Defisit)

"Saya ingat pada saat kampanye, Presiden Joko Widodo tidak akan tambah utang. Bagaimana pemerintah bisa susun APBN dengan jujur? Susun tanpa utang," ujar dia saat Sidang Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/7).