Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan menuai kontroversi. Pelaku pasar modal berharap pemerintah segera melakukan sosialisasi sebab aturan tersebut telah membuat investor gelisah.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Lily Widjaja mengatakan, ada banyak investor yang membatalkan investasinya setelah mendengar peraturan tersebut. Ia pun mengingatkan, ada potensi investor membawa dananya hengkang ke luar negeri. (Baca juga: Ekonom Nilai Perppu Keterbukaan Keuangan Bisa Buat Nasabah Panik)

Maka itu, ia mendorong pemerintah untuk melakukan sosialisasi mendalam kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya investor di pasar modal. "Jadi kalau sampai aturan ini diberlakukan, bagaimana pemerintah harus sosialisasikan ke masyarakat," ujar Lily saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi Keuangan DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/7).

Adapun, secara garis besar, Perppu tersebut mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk melaporkan secara otomatis data nasabahnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Lembaga jasa keuangan yang dimaksud di antaranya perbankan, perasuransian, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Sementara itu, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengusulkan ada perlakuan khusus untuk investor lokal. "Kalau bisa nanti data nasabah lokal di Indonesia bisa dibuka tapi by request (berdasarkan permintaan) saja deh," ujarnya.

Sebab, investor lokal baru saja diperhadapkan dengan program pengampunan pajak (tax amnesty). Pemeriksaan data di pasar modal pasca tax amnesty akan memicu kegelisahan baru. (Baca: Sri Mulyani Bantah Konspirasi Perppu Buka Rekening dan Tax Amnesty)

Menurut Tito, usulan tersebut juga masuk akal sebab Perppu yang dimaksud sebetulnya untuk memfasilitasi kerja sama global pertukaran data keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait perpajakan. Untuk menjalankan kerja sama global tersebut, yang harus dipersiapkan Indonesia adalah keterbukaan data nasabah asing untuk dipertukarkan dengan data nasabah Indonesia di luar negeri.

Di sisi lain, ia menambahkan, perlu ada kejelasan mengenai data di pasar modal yang harus disetor secara otomatis. "Ada penjual cendol yang menabung saham Rp 20 ribu per hari, apa harus dilaporkan? Lalu, kami ada 1 juta akun, pertumbuhan 30 persen per tahun. Suatu saat ada 10 juta akun apa harus dilaporkan setiap enam bulan ke Direktorat Jenderal Pajak," ujar Tito.

Selain itu, ia juga menyoroti tentang pihak-pihak yang nantinya berwenang untuk membuka data tersebut. Menurut dia, selama ini, BEI bisa memberikan data tersebut, namun kepada pihak tertentu. Untuk institusi Polri, misalnya, data hanya bisa dilaporkan ke tingkat Kepala Polisi Daerah (Kapolda) dan pangkat di atasnya. Maka itu, ia meminta agar data hanya bisa dibuka oleh Direktur Jenderal Pajak dan pangkat di atasnya.

Sementara itu, Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Friderica Widyasari Dewi menjelaskan, dalam Perppu tersebut tidak dibahas apakah pihaknya perlu melaporkan ecara otomatis data nasabah ke Ditjen Pajak atau tidak. Ia pun menyatakan, KSEI tidak memiliki data mengenai penghasilan nasabah secara terperinci, hanya data transaksi di bursa.

Selain itu, ada juga data nasabah dari perusahaan sekuritas dan manajer investasi. Namun, data-data tersebut jumlahnya banyak lantaran satu nasabah saja bisa memiliki banyak rekening. Ia pun khawatir bakal ada tumpang tindih data.

Adapun selama ini, menurut Friderica, KSEI sudah memiliki mekanisme jika Ditjen Pajak ingin mendapatkan data nasabah. “Di KSEI juga ada mekanismenya, kalau Ditjen Pajak butuh, minta ke kami kapan saja bisa," ujarnya.