Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati jadi sorotan. Penyebabnya, defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017 mencapai 2,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Level tersebut nyaris mendekati ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara yaitu maksimal tiga persen terhadap PDB.
Defisit membengkak lantaran alokasi belanja naik, sedangkan target penerimaan negara turun. Kenaikan belanja di antaranya akibat subsidi energi yang membengkak lebih dari 30 persen. Hal itu seiring dengan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga solar bersubsidi, elpiji 3 kilogram, dan tarif listrik golongan 450 Volt Ampere (VA).
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual berpendapat pembengkakan defisit tak perlu dikhawatirkan. Apalagi, pembengkakannya tak jauh dari tiga persen. Bank Indonesia (BI) bahkan memperkirakan defisit hanya akan mencapai 2,67 persen lantaran penyerapan belanja biasanya tak sampai 100 persen. (Baca juga: Defisit Anggaran Hampir 3%, Pemerintah Tambah Surat Utang)
Di sisi lain, alasan pembengkakan defisit jelas: pemerintah ingin menjaga daya beli masyarakat. Maka itu, harga energi diputuskan tidak naik. Sebagai gantinya, anggaran subsidi energi direlakan melonjak. “Ini hanya masalah pilihan kebijakan, (defisit anggaran) masih reasonable (masuk akal),” kata David kepada Katadata, Kamis (13/7). (Baca juga: Badan Anggaran DPR Sepakat Subsidi Energi Naik 32% Jadi Rp 102,4 T)
Keputusan pemerintah untuk mengoreksi target penerimaan negara juga dimaklumi David. Sebab, penerimaan tidak lagi dibantu oleh program pengampunan pajak (tax amnesty) seperti tahun lalu. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga tak jauh beda dengan tahun lalu yang di level 5 persenan. Maka, penerimaan pajak kemungkinan belum bisa naik terlalu tinggi.
“Basis pajak (tax base) membesar tapi tidak serta merta (langsung membesar). Mungkin baru akhir tahun,” kata dia.
Menurut David, Indonesia bahkan memiliki ruang untuk lebih memperlebar defisit anggaran dari maksimal 3 persen menjadi 3-4 persen. Batasan defisit yang sebesar 3 persen dinilai membatasi langkah pemerintah untuk melakukan kebijakan countercyclical alias kebijakan untuk membalikkan siklus ekonomi yang tengah menurun.
Batasan defisit saat ini juga membuat belanja produktif pemerintah terbatas, misalnya untuk pembangunan infrastruktur. Padahal, belanja ini bisa meningkatkan daya saing Indonesia dan menarik investasi.
“Disiplin fiskal harus tetap, tapi perlu semacam formulasi (untuk menentukan batas defisit anggaran), negara-negara emerging market (ekonomi berkembang) perlu lebih fleksibel,” kata dia.
Ia pun menambahkan, batas atas defisit anggaran yang sebesar 3 persen itu tidak diterapkan di negara lain, kecuali negara-negara Eropa yang ingin menyatukan ekonomi. “Tapi kenyataanya banyak juga (negara Eropa) yang lebih dari 5 persen,” ucap David.
Menurut dia, defisit anggaran Indonesia bahkan lebih rendah dibanding negara-negara ekonomi berkembang lainnya. “Dibanding emerging market kita rendah, dibanding Malaysia, Thailand, India bahkan defisit dan rasio utang tinggi,” ucapnya.