Pemerintah dan pelaku pasar tengah menantikan keputusan Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's Financial Services LLC (S&P) mengenai peringkat utang Indonesia. Beberapa ekonom pesimistis S&P bakal menaikkan peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade) karena memanasnya situasi politik. Namun, Bank Indonesia (BI) punya pendapat lain.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan ada lima indikator yang menjadi pertimbangan lembaga pemeringkat dalam menentukan peringkat utang suatu negara. Ia mengklaim kondisi Indonesia positif untuk keseluruhan indikator. (Baca juga: Bank Dunia Pesimistis S&P Naikkan Peringkat Utang Indonesia)
Indikator pertama, fundamental ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi. Menurut Perry, perekonomian Indonesia terpantau terus menguat. Pada kuartal I lalu, ekonomi berhasil tumbuh 5,01 persen atau lebih tinggi dari kuartal sebelumnya dan periode sama tahun lalu. "Proyeksi (pertumbuhan ekonomi) akan semakin tinggi di 2018, karena infrastruktur sekarang akan menaikkan produktivitas ekonomi selanjutnya," tutur dia di Gedung BI, Kamis (18/5).
Indikator kedua, terkait kebijakan moneter dan keuangan. Menurut dia, umumnya, lembaga pemeringkat melihat kebijakan moneter dalam hal inflasi, stabilitas nilai tukar, tata kelola, dan komunikasi kebijakan ke masyarakat. Selain itu, rasio-rasio kesehatan di sektor keuangan.
Soal yang terakhir, Perry menyatakan sektor keuangan Indonesia kuat. Indikasinya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang mencapai 22,7 persen dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) juga masih terkendali yaitu NPL gross 3 persen dan NPL netto 1,3 persen.
Selanjutnya, Perry menyebut, indikator ketiga yang dilihat lembaga pemeringkat yaitu ketahanan fiskal yang tercermin dari defisit anggaran dan pembiayaannya. Untungnya, pada tahun lalu, pemerintah memangkas belanja negara sehingga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa dijaga di level yang aman. Ke depan, defisit APBN masih berpeluang membaik, apalagi penerimaan negara berpeluang menanjak seiring dengan reformasi perpajakan yang tengah dilakukan pemerintah.
Indikator keempat, terkait ketahanan eksternal. Hal tersebut tercermin dari defisit transaksi berjalan (Current Account Defisit/CAD) alias transaksi perdagangan barang dan jasa. Adapun, sejauh ini, defisit tercatat sudah menurun. Tahun lalu, nilainya 1,75 persen terhadap Produk Domestik Brutor (PDB). Sedangkan tahun ini, defisit diperkirakan hanya naik tipis menjadi 1,8 persen terhadap PDB.
Di sisi lain, cadangan devisa yang telah menembus level US$ 120 miliar juga diklaim turut memperkuat ketahanan Indonesia dalam menghadapi tekanan eksternal. “Cadangan devisa (cadev) US$ 123,2 miliar itu jauh lebih dari cukup untuk ketahanan eksternal kami. Dengan berbagai indikator itu cukup, termasuk kerja sama swap arrangement kami dengan sejumlah bank sentral," ujar dia.
Terakhir, indikator yang jadi pertimbangan lembaga pemeringkat, yaitu kemampuan institusional. Kemampuan yang dimaksud, yaitu kemampuan pemerintah dalam merumuskan, mengimplementasikan, dan mempercepat reformasi struktural. Hal ini juga menyangkut soal pelaksanaan paket-paket kebijakan ekonomi dan deregulasi aturan. (Baca juga: Bidik Peringkat Layak Investasi, Sri Mulyani Temui Lagi S&P)
Adapun, sejauh ini, Perry menilai reformasi struktural telah menunjukkan hasil nyata, berupa rampungnya proyek-proyek infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, dan jalan tol. "Gubernur BI, Menteri Keuangan dan berbagai pihak telah jelaskan pada berbagai lembaga rating. Semoga ini memberikan penjelasan (dan memberikan) kepada keyakinan lembaga rating," tutur Perry.
Di sisi lain, Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo sepakat kondisi perekonomian Indonesia telah menunjukkan perkembangan positif. Namun, ia tak mau berasumsi soal kemungkinan kenaikan peringkat dari S&P. "Kalau terkait assesment kami serahkan pada lembaga rating (pemeringkat) itu. Cuma secara umum kondisi Indonesia dalam keadaan baik," kata dia.