Berdasarkan survei pekan ketiga oleh Bank Indonesia (BI), inflasi masih sebesar 0,35 persen. Meskipun ada banjir, BI memandang perlu ada peningkatam koordinasi guna menjaga terpenuhinya kebutuhan pangan.
Berdasarkan survei hingga pekan ketiga Februari 2017, Bank Indonesia (BI) mencatat, indeks harga konsumen atau inflasi sebesar 0,35 persen. Pengerek inflasi adalah komponen harga yang diatur pemerintah (administered price), namun angkanya jauh di bawah realisasi inflasi Januari yang sebesar 0,97 persen.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menjelaskan, pengaruh terbesar dari inflasi bulan ini adalah kenaikan tarif dasar listrik secara bertahap bagi pelanggan 900 volt ampere (VA). "Kalau yang pelanggan 900 VA itu kan akan naik tiga tahap sampai bulan Mei. Jadi, administered price terkait kenaikan tarif listrik akan masih ada (pengaruhnya)," ujarnya di Jakarta, Rabu (22/2).
(Baca: Konsumen Pesimistis, Belanja Masyarakat Kuartal I Diprediksi Turun)
Meski menyulut inflasi, Mirza mengapresiasi langkah pemerintah mengurangi subsidi energi yang berakibat pada kenaikan harga listrik pelanggan tertentu. Pengurangan subsidi ini bisa berpengaruh positif terhadap efisiensi anggaran, yang bisa dialihkan ke sektor yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur.
"Tapi memang, kenaikan inflasi yang kita hadapi saat ini harus dinetralisir dengan cara mengendalikan volatile food (komponen harga bergejolak bahan makanan)," ujar Mirza. Dia tidak menyebutkan apakah faktor kenaikan tarif administrasi STNK akan memberi dampak pada kenaikan inflasi tahun ini.
(Baca: Data BPS soal Inflasi Tinggi Januari Jadi Sorotan Pemerintah)
Di tempat terpisah, Gubernur BI Agus DW.Martowardojo menjelaskan, bencana banjir turut menyulut inflasi. Sebab, bencana alam ini berpotensi mengakibatkan gagal panen. Tentunya kondisi ini bisa menurunkan pasokan pangan, yang pada akhirnya bisa meningkatkan harga yang bergejolak (volatile food).
Untuk mengantisipasi hal itu, BI sudah berkoordinasi dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di Jawa Tengah (Jateng). Koordinasi ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran pemerintah daerah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gagal panen.
Selain itu, banjir juga bisa berpengaruh dari sisi biaya distribusi. Kondisi jalan yang tergenang air, tentunya akan menyulitkan kendaraan terutama distributor. "Kami harus menjaga kalau ada kondisi alam yang membuat, misalnya, volatile food tidak terjaga panennya dan ada masalah di distribusi atau jalur jalan," kata Agus usai Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (22/2).
Sementara Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi inflasi Februari lebih tinggi dari perkiraan BI, yakni berada di kisaran 0,4-0,5 persen. Untuk keseluruhan tahun ini dia memprediksi sebesar 4-4,2 persen. Selain imbas kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices), tingginya inflasi juga disebabkan kenaikan harga beragam komoditas, volatile food, serta inflasi inti.
Tekanan inflasi diperkirakan bakal terjadi di semester pertama dan mereda di semester kedua. Kecuali jika ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di paruh kedua tahun ini. Ia juga memprediksi, tekanan inflasi dari kenaikan tarif STNK tidak akan berlanjut ke bulan berikutnya. Yang perlu diwaspadai adalah tekanan inflasi dari kenaikan bertahap tarif dasar listrik (TDL) golongan 900 VA.
(Baca: Konsumen Prediksi Tekanan Kenaikan Harga Hingga Juli 2017)
“Sampai akhir tahun ini yang harus kita waspadai kenaikan tarif listrik ya. Tapi kemarin saya dengar ada koordinasi BI dengan pemerintah ya. Dalam artian, sekiranya jika dimungkinkan, jika tekanan inflasi mulai mereda baru dilakukan adjustment dari tarif listrik,” ujar Josua.