Usai Tax Amnesty, Pemerintah Bersiap Revisi Lima Aturan Pajak

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
9/1/2017, 13.07 WIB

Pemerintah akan memanfaatkan momentum berakhirnya program pengampunan pajak (tax amnesty) periode III pada Maret mendatang untuk mendorong penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempersiapkan tiga langkah yakni reformasi kebijakan, reformasi administrasi, dan pelaksanaan pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak.

Dalam hal reformasi kebijakan, Direktur Perpajakan Internasional DJP John‎ Hutagaol menyebutkan, ada empat peraturan yang akan direvisi. Peraturan itu terkait dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea materai, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

(Baca: Dana Repatriasi Jadi Rebutan, Bank Naikkan Bunga)

"Setelah itu kami akan melihat persiapan Indonesia sesuai janji amnesti pajak untuk melaksanakan AEoI. Ini adalah spirit dari masyarakat internasional untuk melaksanakan transparansi dan keterbukaan,” kata Jhon dalam acara bertajuk “Tren dan Outlook Perpajakan 2017” di Jakarta, Senin (9/1).

Ia mengatakan, pemerintah perlu segera melakukan konvergensi terhadap regulasi di dalam negeri untuk mengakomodasi empat minimum standar yang dideklarasikan dalam Base Erotion and Profit Shifting (BEPS). Keempat standar yang dimaksud adalah harmful tax practices, treaty abuse, transfer pricing documentation, dan dispute resolution.

Saat ini, Indonesia sudah memenuhi standar transfer pricing documentation. "Ini sangat menarik, karena Indonesia termasuk negara yang sudah siap melaksanakan country by country report (CbCR)," kata Jhon. Jika standar ini tak dilaksanakan maka Indonesia akan terpinggirkan dari pergaulan internasional.

Untuk menghadapi era keterbukaan, seperti AEoI ini, Ditjen Pajak sudah menyelesaikan persoalan kerangka hukum internasional (international legal framework) terkait standar tersebut. Yang belum diselesaikan yakni primary legacy itu seperti UU KUP dan UU Perbankan, serta secondary legacy yang berupa peraturan turunannya.

"UU perbankan harus direvisi. UU syariah perbankan, UU Pasar Modal harus disesuaikan dengan semangat ini," kata dia. (Baca: Peserta Amnesti Tembus Setengah Juta, Duit Tebusan Tetap Meleset)

Jika kerja sama tersebut telah berjalan, Jhon optimistis target pajak sekitar Rp 1.300 triliun tahun ini dapat tercapai. Bahkan, pemerintah bisa memperoleh penerimaan lebih tinggi jika mendapatkan data terkait wajib pajak Indonesia dari berbagai negara.

"Bayangkan kalau pengemplang pajak sudah susah simpan uang di luar negeri. Ini yang kami inginkan. Kalau ini terwujud, saya yakin target pajak Rp 1.300 triliun itu kekecilan," tutur Jhon. Karena itu, amnesti pajak diharapkan menjadi jembatan bagi pemerintah dalam menghadapi era keterbukaan perpajakan nanti.

Ia pun menghimbau masyarakat untuk ikut amnesti pajak. Sebab, hingga memasuki periode ketiga ini baru tiga persen dari total wajib pajak yang mengikuti program tersebut. (Baca: Ikut Tax Amnesty, Cuma 1 Persen WNI di Singapura Pulangkan Harta)

Jhon menyarankan agar wajib pajak tidak mengikuti program tersebut pada akhir periode. Sebab, perilaku seperti itu berisiko menyebabkan kesalahan, baik dari sisi manusianya ataupun teknologinya. "Jangan sampai ada pengulangan peristiwa sunset policy. Ketika sunset berakhir yang ada penyesalan, kenapa tidak ikut?"