Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank) Sri Mulyani memuji kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengatasi hambatan perdagangan. Lewat kebijakan tersebut, daya saing Indonesia dalam perdagangan di dunia internasional bisa meningkat.
Pertama, kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur dapat lebih memudahkan transportasi dan distribusi barang serta memperlancar proses produksi. Saat ini, pemerintah sedang menggenjot sejumlah proyek infrastruktur, mulai dari jalan tol, rel kereta api, bandar udara, pelabuhan, hingga waduk.
Kedua, paket kebijakan ekonomi. Sejak September tahun lalu, pemerintah telah menerbitkan 12 paket kebijakan ekonomi. Sri menilai, paket kebijakan itu bertujuan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi.
"Itu adalah arah yang baik dan sangat diperlukan," kata bekas Menteri Keuangan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, saat menjadi pembicara kunci dalam seminar pembangunan berkelanjutan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (26/7).
(Baca: Tinggal Satu Aturan Paket Kebijakan Ekonomi Belum Selesai)
Penyebabnya, menurut Sri, dalam kurun 50 tahun terakhir ini Indonesia selalu memanfaatkan perdagangan dan investasi global untuk membangun perekonomian dan mengatasi kemiskinan. Integrasi pasar bebas ASEAN sejak tahun ini tentunya menjadi peluang untuk meningkatkan perdagangan di antara masing-masing negara anggotanya.
Lewat integrasi pasar itu, nilai perdagangan di antara anggota ASEAN dapat meningkat dari US$ 600 miliar menjadi US$ 1,9 triliun. Persoalannya adalah, Indonesia harus mengatasi sejumlah hambatan untuk meningkatkan perdagangannya.
Hambatan itu antara lain, produktivitas tenaga kerja di Indonesia belum baik. Sri menyebut upah tenaga kerja di dalam negeri memang lebih rendah, tapi biaya produksi per unit tinggi. “Kalau kita (Indonesia) integrasi dengan pasar global, tantangan dalam memperbaiki produktivitas sangatlah kritikal,” ujarnya.
Sementara itu, biaya perdagangan di Indonesia saat ini masih relatif tinggi. Sri mencatat, biaya perdagangan di Indonesia sekitar 130 persen lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Sedangkan dibandingkan Vietnam dan Thailand sekitar 90-100 persen lebih tinggi.
Sebagai tambahan, Global Alert yang merupakan platform yang membahas masalah dunia, menyatakan Indonesia termasuk negara yang paling sering menerapkan hambatan perdagangan. "Yang menikmati hanya rentenir," kata Sri.
(Baca: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Global Akibat Brexit)
Di sisi lain, Sri mengungkapkan, Bank Dunia kini mengkhawatirkan pertumbuhan ekonomi dunia yang rapuh. Pemangkasan proyeksi pertumbuhan juga telah dilakukan beberapa kali. Menurut dia, melambatnya ekonomi di Cina dan perubahan struktur perekonomian di negara tersebut telah berpengaruh terhadap dunia.
Belum lama ini, Sri bercerita, telah mengunjungi Argentina dan bertemu dengan Presiden Mauricio Macri serta beberapa gubernur dari negara tersebut. Dari hasil lawatannya, Sri mendapati negara itu mengalami perekonomian yang sulit. Hal ini diakibatkan melemahnya kinerja ekspor ke Cina.
Kondisi serupa pun dialami Amerika Latin dan Asia Tenggara. “Cina menerima 11 persen ekspor Indonesia,” kata Sri. (Baca: Lembaga Keuangan Dunia Ramai-ramai Pangkas Pertumbuhan Ekonomi)
Selain penurunan perekonomian di negara berkembang, Sri menyebut, rendahnya harga komoditas, meningkatnya terorisme dan perubahan iklim global secara bersamaan telah mempengaruhi tingkat ekonomi negara-negara berkembang.
Untuk mengatasinya, dibutuhkan koordinasi antarnegara untuk membangun kembali kepercayaan serta menghilangkan halangan perdagangan maupun investasi. Dengan demikian, produktivitas dan pemulihan ekonomi bisa tercipta.
Namun yang terjadi di dunia sekarang sebaliknya. Ia menyebut populisme sedang bangkit dan meluas. Hal ini tercermin dari kerjasama antarnegara yang dinilai Sri mencapai titik terendah. Salah satu contohnya adalah keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit).
“Bagaimana Indonesia harus menyikapinya? Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pelaku global yang disegani,” kata Sri. Jika masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan teknologi, semestinya negara ini mampu menghadapi tantangan ekonomi dunia saat ini, yang disebut Sri sebagai "perfect storm" (badai besar).