Pemerintah terus meningkatkan penerimaan pajak, termasuk melalui perluasan basis pemungutan atau ekstensifikasi. Salah satu alatnya dengan menerapkan sistem pendanaan wilayah atau geo-tagging.
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak Dasto Ledyanto mengatakan sejak menjalankan sistem tersebut sejak Mei lalu sudah mendeteksi sekitar sejuta juta titik potensi pajak baru. “Sudah hampir sejuta point of interest di seluruh Indonesia,” kata Dasto di Jakarta, Kamis malam, 30 Juni 2016.
Data tersebut akan diklarifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)-nya. Nantinya, wajib pajak baru yang terjaring sistem ini akan diimbau untuk mengikuti pengampunan pajak atau tax amnesty. (Baca: Pemerintah Bidik Penerimaan Rp 50 Triliun dari Pemeriksaan Pajak).
Hingga saat ini, kegiatan tersebut baru melalui tahapan pertama yakni pelabelan. Selanjutnya dilakukan klarifikasi mengenai kepemilikan dan kesesuaian NPWP dengan jumlah usaha atau kepatuhannya melaporkan aset yang dimiliki dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak. Kegiatan ini diharapkan menambah wajib pajak baru atau ekstenfikasi, terutama orang pribadi.
Jika dari hasil temuan diketahui bahwa subjek pajak belum memiliki NPWP, akan diimbau membuat identitas wajib pajak tersebut. Begitu pula jika diketahui ada usaha yang belum didaftarkan sebagai objek pajak. Bila subjek pajak enggan membuat NPWP, pegawai pajak akan mengirimkan surat imbauan dan diberi tenggat waktu 14 hari untuk menanggapi surat tersebut.
Supaya lebih efektif, Direktorat Pajak mengkaji teknologi yang memungkinkan petugas pajak mengetahui informasi subjek dan objek pajak. Jadi, ketika melakukan pelabelan secara langsung, mengombinasikannya dengan masterfile milik Direktorat Pajak. (Baca: Penghasilan di Bawah Rp 4,5 Juta Sebulan Bebas Pajak).
Meski baru memasuki tahap pelabelan, sebagian objek dan subjek pajak yang belum memiliki NPWP disarankan mengikuti pengampunan pajak. Percepatan ini mengingat tax amnesty hanya berlangsung sembilan bulan, enam bulan di antaranya berlaku tahun ini.
Sasaran utama dari geo-tagging yakni Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) beromset di bawah Rp 48 miliar. Adapun tarif tebusannya sebesar 0,5 persen untuk harta yang dilaporkan hingga Rp 10 miliar dan dua persen untuk nilai harta di atas Rp 10 miliar.
“Saat kami data, kami cek ke masterfile kami. Apakah semua ini sudah kami lakukan untuk ke arah tax amnesty? Itu seiring sejalan saja. Kan sudah ada data, kami himbau. Kami kasih tahu, ada pilihan nih tax amnesty,” ujar Dasto. (Baca: Pengusaha Menilai Target Penerimaan Tax Amnesty Terlalu Tinggi).
Guna mengembangkan sistem ini, Direktorat Pajak bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial terkait penerapan kebijakan satu peta (one map policy) yang memiliki 85 tematik. Dengan begitu, pelabelan subjek dan objek pajak baru menjadi lebih mudah dan disesuaikan dengan potensi wilayahnya seperti daerah perdagangan, industri, pertanian, kehutanan, dan lain sebagainya.
Kami manfaatkan untuk kepentingan nasional. Misal, kami tag rumah orang lalu ada mobil atau aset lainnya, difoto, kami ke lapangan.”
Sistem semacam ini diusung Direktorat Pajak lantaran penerimaan pajak dari orang pribadi bukan karyawan hanya mencapai Rp 9 triliun atau kurang dari 10 persen terhadap total penerimaan pajak tahun lalu Rp 1.060 triliun. Hal itu terjadi karena dari 27 juta pemilik NPWP, hanya 10 juta yang melaporkan SPT dan cuma 900 ribu orang di antaranya yang membayar pajak dengan benar.