Pengusaha Menilai Target Penerimaan Tax Amnesty Terlalu Tinggi

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
28/6/2016, 15.05 WIB

Kalangan pengusaha menilai target penerimaan negara dari hasil kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) terlalu tinggi. Alasannya tidak semua asset orang Indonesia yang berada di luar negeri bisa ditarik kembali ke Indonesia (repatriasi).

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan aset yang ada di luar negeri lebih banyak berbentuk properti, surat utang, dan lainnya yang tidak berupa uang tunai. Dia menganggap aset-aset ini sulit direpatriasi, sehingga potensi penerimaan negaranya kecil.

Apalagi, kata dia, sudah ada sebagian besar dana yang berada di luar negeri masuk ke Indonesia. Dana tersebut masuk setelah krisis keuangan tahun 1998. Yakni saat pemerintah melakukan lelang perusahaan yang dilikuidasi, pembeli aset lelang ini adalah orang Indonesia yang sempat menaruh uangnya di luar negeri. (Baca: Darmin: Ada Tax Amnesty pun Penerimaan Masih Berat)

"Menurut kami, angka yang ditargetkan pemerintah Rp 165 triliun terlalu agresif," ujar Rosan saat ditemui di Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (28/6). Meski menganggap terlalu tinggi, dia belum bisa memperkirakan berapa dana yang bisa didapat pemerintah.

Rosan mengaku pihak pengusaha sangat mendukung pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak ini. Mereka menilai akan berdampak positif bagi perekonomian nasional. Kebijakan ini juga merupakan hal yang biasa dan sudah banyak digunakan di beberapa negara.

Pengusaha malah khawatir kebijakan ini tidak bisa berjalan maksimal, karena kepastian hukum Indonesia yang lemah. Meski payung hukum untuk kebijakan ini akan ditetapkan dalam Undang-Undang yang setujui DPR, tetap saja masih bisa direvisi. (Baca: Mayoritas Fraksi Sepakat, PDIP Minta Tarif Tax Amnesty Lebih Besar)

Kadin Indonesia berharap kebijakan pengampunan pajak bisa menjadi batu loncatan akan reformasi perpajakan secara keseluruhan. Keberhasilan dari kebijakan ini mungkin bisa membuat reformasi pajak terus berjalan.

Makanya Kadin merasa kebijakan pengampunan pajak sangat baik dan harus dikawal ketat implementasinya. "Saya bilang programnya bagus, tarifnya sudah bagus, tapi targetnya ketinggian," ujarnya. (Baca: Tarik-ulur Partai di Detik Akhir Keputusan Tax Amnesty)

Kritik terhadap target penerimaan dari tax amnesty juga datang dari fraksi partai pendukung pemerintah di DPR. Fraksi PDI Perjuangan bahkan menolak Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty disahkan tahun ini. Alasannya, jika target itu tidak tercapai maka dikhawatirkan bakal memperbesar defisit anggaran tahun ini. PDIP mengusulkan catatan tersebut dimasukkan dalam pembahasan di Sidang Paripurna hari ini.

"Karena besarnya potensi penerimaan pajak sangat tinggi dan diakumulasikan dalam APBN-P 2016. Kami mengusulkan tidak dimasukkan dalam APBN-P," ujar Anggota Komisi XI dari PDI-Perjuangan I Gusti Agung Rai Wirajaya, saat Rapat Kerja dengan pemerintah di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (27/6) malam. (Baca: Tiga Fraksi Menolak, RUU Tax Amnesty Lanjut ke Paripurna DPR)
Saat pembahasan RUU Tax Amnesty berlangsung di DPR kemarin, tiga orang pimpinan PDI Perjuangan menemui Presiden Jokowi di Istana. PDI Perjuangan mempersoalkan besaran tarif tebusan yang terlalu kecil dan jangka waktu program pengampunan pajak yang terlalu lama.

Partai pendukung Jokowi ini ingin periode tax amnesty dibagi dua dan berakhir Desember tahun ini. Tarif tebusannya untuk repatriasi sebesar 2 persen dan 3 persen, dan untuk deklarasi harta sebesar 10 persen dan 15 persen. Sementara mayoritas fraksi sepakat tiga periode hingga kuartal I-2017. Tarif tebusannya untuk repatriasi sebesar 2, 3, dan 5 persen dan untuk deklarasi sebesar dua kali lipat dari tarif repatriasi.