Darmin Menilai Rekor Deflasi Tak Terkait Daya Beli Masyarakat

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
3/5/2016, 13.50 WIB

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai rendahnya harga barang-barang saat ini yang tercermin dari rekor terbesar deflasi bulan April 2016, tidak bisa dijadikan patokan adanya masalah pada daya beli masyarakat. Meski begitu, pencapaian tersebut sesuai dengan target inflasi tahunan yang diinginkan pemerintah.   

Menurut Darmin, pemerintah perlu bersikap hati-hati dalam menyikapi kondisi ini. Fluktuasi perekonomian Indonesia per bulan yang terlihat dari angka deflasi pada April lalu, memang penting untuk dilihat. Meski begitu, pemerintah tetap berpegangan pada angka inflasi secara tahunan (year on year). “Kalau dilihat sekarang year on year (inflasi) 3,6 persen. Berati kondisi ini sejalan dengan target pemerintah,” ujar Darmin di Jakarta, Selasa (3/5).

Di sisi lain, dia menegaskan besarnya deflasi pada April lalu tidak bisa dijadikan patokan dalam menilai tingkat daya beli masyarakat saat ini. “Kalau daya beli itu ukurannya bukan itu (deflasi). Kita harus melihat penerimaan pendapatan berkembangnya bagaimana, harganya bagaimana baru bisa jawab itu,” kata Darmin.

(Baca: Harga Pangan Terkendali, April Cetak Deflasi Terbesar Sejak 1999)

Yang lebih penting adalah perekonomian Indonesia masih tetap tumbuh di tengah risiko perlambatan ekonomi global. Kalau ekonomi di dalam negeri bisa terus tumbuh, maka daya beli masyarakat bakal ikut terkerek naik.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi April 2016 sebesar 0,45 persen dibanding bulan sebelumnya. Ini merupakan deflasi terbesar sejak tahun 1999. Kepala BPS Suryamin menjelaskan, deflasi terjadi karena adanya penurunan harga pada beberapa indeks kelompok pengeluaran, seperti kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar turun serta penurunan harga bensin dan Tarif Dasar Listrik (TDL).

Deflasi tersebut didukung oleh komponen harga yang bergejolak (volatile food) mengalami deflasi 1,04 persen dan komponen harga yang diatur pemerintah (administered price) deflasi 1,7 persen. "Ini (deflasi April 2016) menunjukkan perkembangan harga komoditas bahan pokok terkendali," kata Suryamin, Senin (2/5). Adapun tingkat inflasi tahun kalender (Januari–April) 2016 sebesar 0,16 persen, sementara secara tahun ke tahun (year on year) 3,6 persen.

(Baca: BPS Meramal Deflasi dan Harga Barang Turun Selama 3 Bulan)

Mengacu kepada deflasi bulan April lalu, Darmin mengatakan, kondisi perekonomian telah berjalan di jalur yang positif. Hal ini mengacu kepada target inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 4 persen tahun ini. Selain itu menunjukkan harga barang-barang kebutuhan masyarakat telah menurun.

Meski begitu, menurut Darmin, masih ada beberapa komoditas yang menjadi perhatian pemerintah karena harganya belum turun. Contohnya harga cabai dan bawang putih yang akan terus dipantau oleh pemerintah. Sedangkan untuk harga komoditas lainnya, dinilai masih dalam tahap yang wajar.

(Baca: Ada Permainan Harga, Bulog Akan Intervensi Tata Niaga Bawang)

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya dan data tim independen Kementerian Koordinator Perekonomian, produksi bawang merah mengalami surplus. Rata-rata produksi bawang merah per bulan di Indonesia sebesar 90.000 ton. Sedangkan produksi pada tiga bulan ke depan diperkirakan bakal terus naik menjadi 100 ribu ton.

Meski begitu, harga bawang merah di pasaran tetap tinggi. BPS mencatat, bawang merah merupakan komoditas bahan makanan yang paling dominan menyebabkan inflasi yaitu sebesar 0,05 persen pada April lalu. Spudnik mengatakan, surplus produksi bawang merah di petani ternyata tidak seluruhnya masuk ke pasar sehingga harga komoditas bahan makanan ini tidak turun. Ia pun menengarai, hal ini disebabkan ulah para oknum pedagang yang menyimpan bawang merah sehingga harganya tetap tinggi.