Pemerintah menyatakan peningkatan pendapatan negara tahun depan cukup rendah, dengan hanya mengandalkan penerimaan pajak. Penambahannya hanya Rp 30 triliun dari perkiraan penerimaan tahun ini. Harga minyak yang diperkirakan masih rendah menjadi salah satu penyebab rendahnya target penerimaan 2017.
Peningkatan penerimaan tahun depan relatif kecil dibandingkan target tahun tahun sebelumnya. Tahun ini pemerintah menargetkan ada tambahan Rp 60,9 triliun dari target penerimaan tahun lalu. Sementara tahun lalu targetnya meningkat sangat besar, mencapai Rp 211 triliun. (Baca: Pemerintah Bidik Tahun Depan Titik Balik Perekonomian Nasional)
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan penerimaan tahun depan masih mengandalkan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diharapkan bisa diterapkan tahun ini. Meski tax amnesty rencananya hanya akan berlaku tahun ini, tapi dampaknya masih bisa terasa tahun depan. Adanya dana wajib pajak yang masuk ke Indonesia (repatriasi) akan membuat potensi penerimaan pajak akan lebih besar.
Sementara harga minyak dan komoditas tahun depan yang diperkirakan masih relatif rendah juga akan mempengaruhi Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun depan. "Penerimaan akan konservatif, dengan hanya memperkirakan penerimaan perpajakan, itu naik tidak lebih dari Rp 30 triliun, dibandingkan perkiraaan penerimaan di 2016," ujarnya usai rapat terbatas membahas pagu indikatif 2017 di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (28/7).
Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016, pemerintah menyatakan ada penurunan penerimaan sekitar Rp 92,6 triliun. Penurunan ini disebabkan asumsi makro, terutama harga minyak yang masih rendah. (Baca: Tak Semua Aset Tax Amnesty Akan Bisa Masuk ke Indonesia)
Penerimaan pajak penghasilan (pph) migas diperkirakan turun hingga Rp 17 triliun dan pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) migas turun hingga Rp 50,6 triliun. Sedangkan PNBP nonmigas, khususnya hasil tambang turun hampir Rp 25 triliun.
Bambang masih belum mau menyebutkan berapa target penerimaan dalam RAPBN-P 2016. Meski ada potensi penurunan penerimaan, pemerintah masih tetap berharap ada tambahan dari program tax amnesty.
Saat memimpin rapat terbatas mengenai pagu indikatif 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa sumber utama penerimaan negara adalah dari sektor pajak. Makanya rasio pajak (tax ratio) harus ditingkatkan dan dasar pengenaan pajak (tax base) harus diperluas. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan pajak. “Jangan pula ditinggalkan sektor-sektor potensi untuk pemasukan nonpajak lainnya, seperti sektor sumber daya nonmigas serta laba BUMN,” ujar Jokowi. (Baca: Jokowi: Rencana Kerja 2017 Harus Berubah Total)
Jokowi juga menginstruksikan desentralisasi fiskal harus tetap dilakukan tahun depan. Dana transfer ke daerah dan dana desa, kenaikannya harus lebih besar dari kenaikan belanja kementerian dan lembaga (K/L). Dana alokasi khusus (DAK) harus digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Selain target penerimaan yang konservatif, Bambang juga menyampaikan sejumlah asumsi makro tahun depan. Namun, angkanya masih dalam kisaran, karena masih belum bisa dipastikan. Rencananya pemerintah baru akan menyampaikan angka pasti mengenai asumsi makro kepada DPR pada Agustus mendatang.
Pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan berada di kisaran 5,5-5,9 persen dan Inflasi 3-5 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan sekitar Rp 13.650 - Rp 13.900. Harga minyak US$ 35-45 per barel. Target lifting minyak di kisaran 740 ribu – 760 ribu barel per hari dan lifting gas 1 juta – 1,1 juta barel setara minyak per hari. (Baca: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia)