Ada Tax Amnesty, Pengusaha Hitung Pajak Bisa Bertambah Rp 200 T

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
19/4/2016, 18.05 WIB

Para pengusaha antusias menyambut rencana pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty pada tahun ini. Kebijakan itu diharapkan bisa mendorong pertumbuhan bisnis dan investasi di dalam negeri. Alhasil, penerimaan pajak bisa bertambah hingga Rp 200 triliun saban tahun.

Berdasarkan survei terhadap 10 ribu pengusaha di Indonesia, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengungkapkan, mereka sangat antusias menyambut kebijakan pengampunan pajak. Alasannya, saat ini hanya ada dua negara di di dunia yang dinilai baik untuk berbinis yakni Indonesia dan India. Namun, pengusaha tidak bisa memanfaatkan asetnya karena belum melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.

“Kalau pengampunan pajak diterapkan, pengusaha mau memulai bisnisnya di Indonesia,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak dengan Komisi Keuangan (Komisi XI) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Selasa (19/4).

Ia menyebut, kebijakan itu tidak hanya mendatangkan manfaat dalam jangka pendek, yakni sekitar Rp 50-60 triliun hingga maksimum Rp 100 triliun dari hasil tarif tebusan pajak seperti taksiran pemerintah selama ini. Berdasarkan kajian Apindo, pengampunan pajak dalam jangka panjang bakal mendorong pertumbuhan bisnis dan investasi di dalam negeri.

(Baca: Bertemu Jokowi, DPR Janjikan RUU Tax Amnesty Rampung Bulan Ini)

Jika ada Rp 1.000 triliun dana repatriasi yang masuk, aset yang bisa digulirkan untuk berbisnis mencapai Rp 2.000 triliun. Dari aktivitas bisnis itu bisa meraih penjualan sekitar Rp 3-4 triliun. Alhasil, pajak pertambahan nilai (PPN) setelah dua tahun kebijakan itu diterapkan bisa bertambah Rp 200 triliun saban tahun.

Potensi penambahan penerimaan pajak itu bisa terjadi kalau pemerintah mengatur repatriasi dana tersebut tidak dimasukkan ke dalam Surat Utang Negara (SUN), melainkan sebagai tambahan modal usaha. "Kami mengusulkannya dalam RUU itu,” kata Suryadi.

Ekspansi usaha tersebut juga bisa memicu efek berantai berupa penyerapan tenaga kerja baru. Beberapa tahun lalu, setiap pertumbuhan ekonomi satu persen bisa menyerap tenaga kerja hingga 400 ribu orang. Tapi, saat ini hanya bisa menampung 160 ribu orang. Artinya jika ekonomi tumbuh lima persen, maka penyerapan tenaga kerja hanya sekitar satu juga orang. Padahal pencari kerja baru saat ini mencapai dua juta.

(Baca: Direktorat Pajak Kantongi 2.000-an Nama di Negara Tax Havens)

“Jadi dampak jangka panjangnya lebih baik dibandingkan keuntungan jangka pendek yang hanya menghasilkan tambahan pajak Rp 50 triliun sampai Rp 60 triliun, atau maksimum Rp 100 triliun,” ujarnya.

Anggota Dewan Pertimbangan Apindo Prijono Sugiarto menambahkan, pajak yang dibayarkan selama ini hanya 30 persen dari nilai ekonominya. Sementara itu, mayoritas merupakan underground ekonomi, berupa ilegal logging, ilegal fishing, dan ilegal mining. Bisnis “bawah tanah” yang juga tidak terjangkau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah pedagang perantara. Kalau saja 70 persen potensi penerimaan pajak tersebut bisa dijangkau oleh Ditjen Pajak, dia optimistis penerimaan pajak bisa naik empat kali lipat di masa depan.

(Baca: Panama Papers Berpeluang Percepat Pengesahan Tax Amnesty)

Prijono juga mengusulkan, aset yang mendapat pengampunan pajak per SPT Desember 2015. "Kemungkinan semua orang sudah masukkan SPT 2015. Saya usul cut off bukan di Desember 2014 tapi Desember 2015. Jadi sekalian bereslah."

Sekadar informasi, DPR telah sepakat melanjutkan pembahasan RUU tax amnesty pada masa sidang bulan ini. Kesepakatan itu tercapai setelah pimpinan DPR bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pekan lalu. Beleid itu diharapkan dapat disahkan pada akhir April ini, meski sebagian anggota Komisi XI DPR meragukan target tersebut.