Animo Asing Tinggi, Pemerintah Rilis Sukuk Global US$ 2,5 Miliar

Kemenkeu KATADATA | Arief Kamaludin
(Arief Kamaludin | KATADATA)
Penulis: Yura Syahrul
22/3/2016, 19.01 WIB

KATADATA - Di tengah kondisi pasar global yang dibayang-bayangi perlambatan ekonomi Cina dan belum pulihnya perekonomian Amerika Serikat (AS), pemerintah berhasil menerbitkan obligasi syariah atau sukuk global senilai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 34,7 triliun. Nilainya lebih tinggi dari rencana awal sebesar US$ 2 miliar lantaran membeludaknya animo para investor.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah menerbitkan sukuk dalam dua jangka waktu (tranche). Pertama, berjangka waktu lima tahun dengan imbal hasil 3,4 persen. Permintaan yang masuk untuk jenis sukuk ini mencapai US$ 2,6 miliar. Kedua, sukuk berjangka waktu 10 tahun dengan imbal hasil 4,55 persen. Permintaan yang masuk hampir US$ 6 miliar.

Jadi, total permintaan investor yang masuk mencapai US$ 8,6 miliar. Namun, pemerintah memutuskan hanya menerbitkan sukuk senilai US$ 2,5 miliar, yang terdiri atas sukuk lima tahun US$ 750 juta dan sukuk 10 tahun sebesar US$ 1,75 miliar. Artinya, surat utang pemerintah tersebut mencetak kelebihan permintaan hingga 3,4 kali. “Pricing (harganya) kami cukup happy. Artinya, minat dan permintaan investor asing cukup tinggi,” kata Robert seusai menghadiri acara Indonesia Investment Forum (IIF) di Jakarta, Selasa (22/3).

Ia merinci, investor peminat terbesar sukuk berjangka lima tahun berasal dari negara-negara Timur Tengah dan negara Islam di Asia. Adapula investor asal Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan. Sedangkan investor asal Indonesia sebanyak 10 persen. Adapun mayoritas investor pembeli sukuk berjangka 10 tahun berasal dari Timur Tengah dan negara Islam di Asia.

(Baca: Menteri Keuangan Tolak Perbesar Defisit Anggaran)

Robert menyatakan, penerbitan sukuk global itu untuk membiayai defisit anggaran tahun ini. Apalagi, saat ini pemerintah membutuhkan dana besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang naik 40 persen dibandingkan tahun lalu. Namun, pemerintah tidak ingin defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 tidak melebihi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Sebelumnya, pemerintah juga sudah menyiapkan pembiayaan lebih awal atau pre-funding alias ijon sekitar Rp 63 triliun pada akhir tahun lalu. Uang sebesar itu juga untuk membiayai pembangunan infrastruktur pada awal 2016. Sumber dana berasal dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi berbentuk valuta asing US$ 3,5 miliar atau Rp 48 triliun dan berdenominasi rupiah senilai Rp 14 triliun.

(Baca: Penerimaan Seret, IMF Menilai Pemerintah Perlu Revisi APBN)

Kebijakan pre-funding ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN 2016 yakni menerbitkan SUN pada akhir 2015. Tujuannya, menjamin ketersediaan pendanaan pada awal tahun anggaran 2016.

Untuk itu, DJPPR menerbitkan obligasi global berdenominasi dolar Amerika Serikat ini pada awal Februari lalu. Selain itu, menerbitkan dua obligasi domestik yakni FR0070 dan FR0046 masing-masing Rp 7 triliun. Pada awal bulan ini, pemerintah juga menjual sukuk ritel senilai Rp 31,5 triliun. Dengan tawaran bunga 8,3 persen, obligasi berjangka waktu tiga tahun ini kebanjiran peminat.

(Baca: Pemerintah dan Bank Berebut Dana Masyarakat Picu Likuiditas Ketat)

Per 4 Maret lalu, nilai surat utang yang sudah diterbitkan pemerintah mencapai Rp 158,1 triliun. Jika ditambah dengan sukuk global ini senilai US$ 2,5 miliar atau setara Rp 34,75 triliun dan sukuk ritel Rp 31,5 triliun, maka nilainya menjadi Rp 224,35 triliun. Jumlahnya setara dengan 41,4 persen dari target pembiayaan melalui surat berharga negara (SBN) dalam APBN 2016 yang sebesar Rp 542 triliun. Utang itu untuk membiayai defisit anggaran tahun ini yang diperkirakan mencapai Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari PDB.

Reporter: Desy Setyowati