Pemerintah Siapkan Skenario Revisi APBN Tanpa Tax Amnesty

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
Penulis: Yura Syahrul
29/2/2016, 12.10 WIB

KATADATA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih berharap kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty bisa berlaku tahun ini untuk menambah penerimaan anggaran negara. Meski begitu, pemerintah mulai bersikap realistis dengan mempersiapkan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 tanpa memperhitungkan penerimaan dari kebijakan tax amnesty.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah masih menunggu kepastian pemberlakuan tax amnesty sebelum merevisi anggaran negara tahun ini. Walau tak bisa memastikan kebijakan itu karena tergantung persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), revisi APBN 2016 masih bisa dilakukan paling lambat Juli mendatang.

“Kami tetap menunggu (tax amnesty), melihat perkembangannya,” kata Bambang kepada Katadata melalui pesan singkat, Minggu (28/2). Sembari menunggu kepastian jadi-tidaknya kebijakan tersebut, Bambang mengaku tengah mempersiapkan beberapa skenario APBN Perubahan 2016 dengan atau tanpa adanya tax amnesty.

Bambang pernah menyatakan, tax amnesty penting untuk mengukur potensi penerimaan negara 2016. Apalagi dengan penurunan harga minyak dunia, penerimaan negara diperkirakan merosot Rp 90 triliun. Belum lagi selisih antara penerimaan dan target (shortfall) pajak ditaksir mencapai Rp 200 triliun. “Kapanpun diterapkan (tax amnesty) pasti efektif untuk penerimaan, baik jangka pendek ataupun panjang,” katanya.

(Baca: Tax Amnesty Diganjal DPR, Ditjen Pajak Bisa Adu Kewenangan)

Namun, jika kebijakan tersebut gagal dilaksanakan, Bambang mempertimbangkan pemotongan belanja negara dalam jumlah besar. Adapun menambah utang untuk menambal defisit anggaran, merupakan opsi akhir.

Seperti diketahui, pemerintah mengandalkan kebijakan pengampunan pajak untuk menambah penerimaan negara tahun ini. Dalam RUU Tax Amnesty, pemerintah menjanjikan penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan. Berdasarkan perhitungan tahun lalu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dari kebijakan tersebut sebesar Rp 60 triliun.

DPR telah menyetujui RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Namun, belakangan, pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan DPR memutuskan menunda revisi UU KPK. Hal tersebut membuat nasib pembahasan RUU Tax Amnesty jadi tidak jelas.

Sebelumnya, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai pemerintah seharusnya mengajukan segera perubahan APBN 2016. Pasalnya, pemerintah harus mengkalkulasi ulang penerimaan negara untuk menopang belanja lantaran penerimaan pajak terancam terus melorot di tengah melemahnya ekspor dan harga komoditas. “Harus ada antisipasi kalau tax amnesty tidak jalan karena tarik-menarik politik. Belanja harus ada penyesuaian nantinya,” kata dia.

Selain penyesuaian pos penerimaan dan belanja, David menilai perubahan APBN 2016 perlu dilakukan untuk merevisi asumsi harga minyak. “Asumsinya (harga minyak ICP dalam APBN 2016) sebesar US$ 50 per barel, sekarang sudah (turun) menjadi US$ 30 perbarel,” katanya.

(Baca: Kejatuhan Harga Minyak Kurangi Penerimaan Negara Rp 90 Triliun)

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara juga menilai asumsi makro dalam APBN 2016 yang agak meleset dengan kondisi saat ini adalah harga minyak. “Harga minyak yang rendah itu berdampak ke inflasi, seharusnya menjadi turun,” katanya.

Tiga opsi untuk APBN

Ekonom Faisal Basri menyoroti APBN 2016 yang masih terlalu optimistis dan seakan tidak belajar dari pengalaman tahun lalu. Pemerintah seharusnya mencermati perkembangan lingkungan strategis dalam menetapkan asumsi-asumsi APBN. Yang paling disorot adalah target penerimaan pajak tahun ini di tengah pertumbuhan ekonomi yang tertekan. Padahal, target pertumbuhan pajak 2015 sebesar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya, jauh meleset.

Pada APBN 2016, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.368 triliun atau lebih tinggi 29 persen dari realisasi penerimaan pajak, termasuk pajak penghasilan (PPh) migas tahun lalu yang sebesar Rp 1.060,8 triliun. Padahal, Menteri Keuangan mengakui peningkatan pajak alamiah plus usaha ekstra hanya 13 persen. Peningkatan alamiah berasal dari asumsi APBN 2016 untuk pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan inflasi 4,7 persen serta usaha ekstra 3 persen.

(Baca: Perubahan APBN 2016 Menunggu Kepastian Tax Amnesty)

Menurut Faisal, penerimaan pajak tahun ini menghadapi tantangan berat karena sebagian potensinya sudah dieksploitasi untuk memenuhi target tahun lalu. “Praktik demikian lazim di masa Dirjen Pajak Hadi Purnomo, tetapi ditertibkan semasa Dirjen Pajak Darmin Nasution,” kata Faisal dalam tulisan di blognya. Padahal, dia menilai praktik “tsunami pajak” tidak sehat karena sangat mendistorsi penerencanaan perpajakan.

Faisal menyarankan tiga opsi untuk menyehatkan APBN 2016 di tengah ancaman anjloknya penerimaan pajak. Pertama, menaikkan defisit APBN dari 2,15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,5 persen PDB. Untuk itu, pemerintah harus menerbitkan lebih banyak surat utang. Masalahnya, dengan lingkungan global yang kurang kondusif dan pasar keuangan dunia yang sangat bergejolak, pemerintah harus menawarkan obligasi dengan bunga relatif tinggi.

Faisal menduga, pemerintah akan mendorong pasar domestik dengan membebankan kepada lembaga keuangan, asuransi, dan dana pensiun untuk membeli surat utang negara. Akibatnya, terjadi peralihan dari dana deposito ke SUN yang jumlahnya diperkirakan sekitar Rp 90 triliun. Padahal, penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 1 persen oleh Bank Indonesia hanya menambah likuiditas perbankan sekitar Rp 34 triliun. Akibatnya bisa memicu pengetatan likuiditas perbankan.

Kedua, mendorong badan usaha milik negara (BUMN) mencari dana dari pasar ketimpang bergantung pada penyertaan modal negara (PMN). BUMN yang memperoleh penerimaan dalam valuta asing masuk ke pasar modal global.

Ketiga, memotong belanja negara seperti proyek-proyek infrastruktur. Menurut Faisal, yang paling mungkin adalah meninjau kembali proyek jalan tol Sumatera. “Pilih saja ruas-ruas yang padat dan ditenderkan terbuka agar swasta maupun BUMN membiayai sepenuhnya proyek itu. Skema private-public partnership bisa digalakkan.”

Kalaupun perpaduan ketiga opsi itu masih kurang mampu menyehatkan anggaran negara, Faisal menyebut defisit masih bisa naik menjadi 2,4 persen sampai 2,5 persen dari PDB. Asalkan kualitas belanja terjaga dan target pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas.

Reporter: Desy Setyowati, Yura Syahrul