KATADATA - Ekonomi yang masih lesu membuat pemasukan uang ke negara seret. Penerimaan pajak tahun depan diperkirakan hanya mencapai Rp 1.280 triliun. Angka tersebut lebih rendah 6,5 persen dari target tahun ini sebesar Rp 1.294 triliun. Itu pun dengan asumsi 82 persen penerimaan pajak tahun ini bisa tercapai, yakni sekitar Rp 1.061 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan tantangan ekonomi tahun depan berasal dari kenaikan suku bunga Amerika Serikat (Fed Rate) dan pelambatan ekonomi Cina. Dampaknya, penerimaan negara pun tak bisa terlalu tinggi. Bila mengacu pada asumi persentase penerimaan tahun ini, Prastowo memperkirakan pajak yang masuk tahun depan hanya Rp 1.280 triliun dari target Rp 1.368,5 triliun.
Menurutnya, asumsi tersebut bisa tercapai bila mengindahkan beberapa hal. Misalnya, ada upaya khusus dalam perbaikan administrasi. Langkah lain yang menolong adalah pengampunan pajak atau tax amnesty. (Baca: Setoran Pajak Seret, Pemerintah Tambah Utang untuk Menambal Defisit).
Prastowo menghitung kebijakan ini bisa menyumbang Rp 58,5 triliun. Perhitungan itu berdasarkan data Tax Justice Network pada 2010. Ketika itu diketahui aset keuangan Indonesia di negara yang pajaknya rendah atau tax haven seperti Singapura sebesar US$ 331 miliar, sekitar Rp 5.844 triliun. Angka ini setengah dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Bila tarif uang tebusan pengampunan pajak lima persen, akan terkumpul penerimaan pajak Rp 43,7 sampai 58,5 triliun.
“Kenaikan 15 persen (target penerimaan pajak pemerintah di 2016) masih wajar. Naik Rp 220 triliun itu sudah termasuk tax amnesty. Lebih dari itu, ekonomi Indonesia bisa terkontraksi,” kata Prastowo dalam acara “Perpajakan 2016: Strategi dan Tantangan” di Jakarta, Rabu, 16 Desember 2015.
Namun, dia meminta pemerintah membedakan besaran uang tebusan bagi wajib pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau yang dananya kurang dari Rp 5 miliar. Dalam draf RUU Pengampunan Pajak yang dimiliki Katadata, disebutkan tarif tebusan pajak sebesar dua persen, empat persen, dan enam persen, tergantung periode pengajuan permohonan pengampunan. Selain itu, harus ada insentif bagi wajib pajak yang meminta pengampunan lalu menempatkan kembali dananya di dalam negeri atau repatriasi.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Firman Subagyo menyatakan tak yakin RUU Pengampunan Pajak selesai dibahas tahun ini. Meski sudah masuk Program Legislatif Nasional 2015, di sisa masa sidang tiga hari ini, ia melihat sulit untuk disahkan. Dengan demikian kebijakan ini baru memungkinkan diterapkan tahun depan.
Meski begitu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Mekar Satria Utama meyakini ada tambahan penerimaan pajak Rp 60 triliun melalui penerapan tax amnesty di tahun depan. “Kami masih optimistis sesuai target,” kata dia.
Dia menyebutkan penerimaan pajak dari penghapusan sanksi administrasi atau reinventing policy sudah mencapai Rp 60 triliun sejak diterapkan. Sedangkan dari penilaian kembali atau revaluasi aset sudah terkumpul Rp 1,9 triliun dari 84 wajib pajak. Sayangnya, dia belum mau menyebutkan realisasi pajak hingga saat ini.
Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi juga menyatakan yakin realisasi penerimaan pajak hingga akhir tahun ini mencapai 85 hingga 87 persen dari target. Padahal, per 27 November lalu, penerimaan pajak baru sebesar Rp 806 triliun atau 64,75 persen dari target. (Baca: Plt Dirjen Pajak Masih Yakin Realisasi Pajak Bisa 85 Persen).
Optimisme itu dilatari oleh kejadian yang di luar perkiraannya pada akhir November lalu. Menurut Ken, ada seorang wajib pajak yang membayar pajak senilai Rp 11,48 triliun. Jika banyak wajib pajak lain yang melakukan hal serupa, tentunya penerimaan pajak bulan Desember ini lebih besar dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.