KATADATA - Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Perwakilan Rakyat terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua DPR Setya Novanto, berjalan panas. Sejak sidang digelar Senin siang ini (30/11), beberapa anggota DPR kembali mempersoalkan keputusan yang sudah dibuat MKD pada Selasa pekan lalu (24/11). Padahal, sidang hari ini seharusnya mengagendakan jadwal waktu dan penentuan pihak-pihak yang akan dimintai keterangannya dalam kasus tersebut.
Menurut Sarifuddin Sudding, anggota mahkamah DPR dari Fraksi Hanura, ada anggotya baru MKD yang ingin menganulir keputusan mahkamah pada 24 November lalu. Bahkan, masih ada pimpinan MKD yang mempersoalkan keputusan tersebut. Alhasil, para anggota mahkamah terbelah menjadi dua kubu dan sidang MKD berjalan panas. “Ada beberapa anggota MKD yang tidak bisa menahan emosinya sehingga menggebrak-gebrak meja saat sidang,” kata Sudding saat jeda sidang MKD, Senin sore.
Wakil Ketua MKD DPR Junimart Girsang juga menyatakan, sidang MKD berlangsung alot dan panas. Pasalnya, sejumlah anggota MKD kembali mempersoalkan validitas data dan bukti dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto. Selain itu, mereka mempersoalkan lagi posisi hukum atau legal standing Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sebagai pelapor kasus tersebut. “Ada upaya untuk mementahkan kesepakatan yang sudah kita sepakati (sebelumnya)," ujarnya.
(Ekonografik: Peta Dukungan Di Sidang Novanto)
Namun, Junimart enggan menunjuk hidung para anggota MKD dan asal partainya yang mempersoalkan kembali kesepakatan tanggal 24 November tersebut. "Saya hanya mengatakan begini, mestinya mereka (anggota MKD) dari awal ikut dan mengetahui anatomi," katanya.
Adapun Sudding mengungkapkan, salah satu pihak yang mempersoalkan lagi validitas data dan legal standing pelapor adalah anggota MKD dari Partai Golkar. "Iya, iya itu (Golkar)," tukasnya. Namun, dia enggan menyebutkan jumlah anggota MKD dan fraksi yang melakukan hal seperti itu. Yang jelas, lantaran tidak mencapai titik temu, sidang MKD ditunda hingga Selasa siang (1/12).
Seperti diketahui, Sudirman Said telah melaporkan kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto kepada MKD DPR, pada 16 November lalu. Ketua DPR itu diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait skenario perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
(Baca: Tiga Pertemuan Setya Novanto dengan Bos Freeport)
Dalam surat berkop Menteri ESDM perihal “Laporan Tindakan Tidak Terpuji Sdr. Setya Novanto” kepada pimpinan MKD, yang salinannya dimiliki Katadata, Sudirman mengungkapkan, Setya bersama pengusaha minyak M. Reza Chalid (MR) telah beberapa kali memanggil dan bertemu dengan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Dalam pertemuan ketiga yang berlangsung 8 Juni lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, di suatu hotel di kawasan Sudirman, Jakarta, Sudirman menjelaskan, Setya menjanjikan suatu cara penyelesaian kelanjutan kontrak Freeport. Politikus Partai Golkar ini juga meminta agar Freeport memberikan saham Freeport kepada Jokowi dan Kalla.
Tak cuma, itu, dalam transkrip rekaman yang beredar di kalangan wartawan tersebut, Setya dan Reza beberapa kali menyebut nama Luhut, yang diduga adalah Menteri Koordinator Polhukam Luhut Binsar Panjaitan. Setya menyebut Luhut telah berbicara dengan Chairman Freeport-McMoran Inc James Robert Moffet (Jim Bob) untuk meminta agar 10 persen dari 30 persen saham Freeport yang akan didivestasi dibayarkan menggunakan dividen. Namun, ide tersebut tidak disukai oleh Presiden Jokowi dan akhirnya menjadi perdebatan.
Semula, sejumlah anggota MKD mempersoalkan dua poin dalam surat pengaduan Sudirman tersebut. Pertama, posisi hukum Sudirman ketika melaporkan perkara tersebut ke MKD. Mengacu kepada Peraturan Tata Beracara di MKD DPR Pasal 4 ayat 5, pengaduan kepada MKD dapat disampaikan oleh tiga elemen masyarakat. Pertama, pimpinan DPR atas aduan anggota terhadap anggota. Kedua, anggota terhadap pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Ketiga, masyarakat secara perorangan atau kelompok terhadap anggota, pimpinan DPR, atau pimpinan AKD.
(Baca: Belum Usut Setya Novanto, Mahkamah DPR Persoalkan Status Sudirman Said)
Adapun dalam kasus ini, Sudirman mengadukan Setya Novanto sebagai Menteri ESDM yang menggunakan kop surat kementeriannya tersebut. Hal inilah yang memicu perdebatan di antara anggota MKD.
Kedua, validitas barang bukti, yaitu hasil rekaman dan transkrip pembicaraan antara Setya Novanto dengan seorang pengusaha dan bos Freeport. Yang dipersoalkan adalah ketidaksesuaian antara transkrip dan rekaman. Dalam laporan yang disampaikan Sudirman kepada DPR, pembicaraan ketiga tokoh itu selama 120 menit. Namun, Sudirman hanya menyerahkan rekaman yang berdurasi 11 menit 38 detik. Karena itu, muncul kekhawatiran adanya bagian-bagian rekaman yang telah diedit sehingga dapat menyesatkan MKD dalam mengambil keputusan.
Belakangan, setelah mendengarkan pandangan dari pakar hukum bahasa, MKD memutuskan untuk menyidangkan kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Setya Novanto itu. Namun, setelah keputusan itu, beberapa fraksi di DPR mengganti anggotanya di MKD, termasuk dari Fraksi Partai Golkar.