Cadangan Devisa Tergerus, Pemerintah Siapkan Dana dari Cina

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
Penulis: Yura Syahrul
17/11/2015, 17.45 WIB

KATADATA - Pemerintah telah mengantisipasi dampak dari potensi kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS), yaitu The Fed Rate, pada bulan Desember nanti. Salah satu langkah antisipatif itu adalah menambah pendanaan dari bank sentral Cina (People’s Bank of China / PBoC), dalam bentuk skema Bilateral Currency Swap Agreement menjadi US$ 20 miliar atau sekitar Rp 270 triliun.

Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, tambahan pendanaan itu untuk mendukung likuiditas pendanaan di dalam negeri.  Apalagi, cadangan devisa (cadev) per akhir Oktober lalu sudah menyentuh level US$ 100,7 miliar. Penurunan cadangan devisa ini lantaran Bank Indonesia (BI) mengintervensi rupiah yang sempat menyentuh level Rp 14.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

“Tambahan demand ini bisa digunakan seluruhnya untuk liquidity support,” kata Bambang dalam telekonferensi dengan para wartawan di Jakarta, Selasa (17/11).

Hal ini merupakan salah satu dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang dihadiri Bambang bersama Presiden Joko Widodo di Antalya, Turki, akhir pekan lalu. Sekadar tambahan informasi, pada tahun 2010 silam, Pemerintah Indonesia telah meneken perjanjian Bilateral Currency Swap Agreement dengan Pemerintah Cina senilai US$ 15 miliar.

Selain membahas tambahan likuiditas tersebut, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi, Presiden Cina Xi Jin Ping menyatakan komitmennya untuk meningkatkan investasi langsung dan investasi portofolio di Indonesia. Bambang pun yakin komitmen tersebut bisa mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Secara umum, Bambang menjelaskan, KTT G-20 membuahkan dua kesepakatan. Yaki arah kebijakan negara-negara G-20 dan implementasinya di masa depan. Fokus arahnya pada tiga hal. Pertama, mempercepat pemulihan ekonomi sekaligus meningkatkan potensi ekonomi global. Kedua, meningkatkan ketahanan ekonomi dari terpaan krisis. Ketiga, menopang keseimbangan ekonomi global.

Salah satu caranya adalah meningkatkan komunikasi mengenai kebijakan moneter dan makroprudensial, serta konsolidasi fiskal. Para pimpinan negara-negara G-20 sepakat mengantisipasi kemungkinan kenaikan suku bunga AS, baik dari besaran ataupun waktu kenaikannya.

Sebelumnya, Bambang menyatakan, negara-negara G-20 menghimbau kepada semua bank sentral untuk mempertimbangkan dampak setiap kebijakan moneternya terhadap perekonomian global. “Karena kebetulan dalam summit tersebut tidak ada kehadiran gubernur bank sentral dan The Fed, maka diskusinya mengenai antisipasi dunia menghadapi kemungkinan kenaikan Fed Rate,” katanya.

Di sisi lain, G-20 pada tahun lalu menargetkan tambahan pertumbuhan ekonomi global sebesar 2 persen pada tahun 2018. Padahal, tahun ini perekonomian global diperkirakan hanya tumbuh 3,1 persen dan 3,6 persen di tahun depan. Alhasil, Bambang mengakui target pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 akan sulit tercapai.

Upaya yang bsia dilakukan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah mendorong pembangunan infrastruktur. Komitmen Indonesia untuk mendukung target tersebut adalah konsolidasi fiskal yang berfokus pada kegiatan-kegiatan usaha produktif. Hal itu dilakukan melalui paket kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada perbaikan iklim investasi dan meningkatkan keterlibatan pihak swasta. Bambang pun berharap, dukungan dari lembaga keuangan multilateral untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Reporter: Desy Setyowati