KATADATA - Pemerintah berbeda pandangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemberian fasilitas pengampunan pajak (tax amnesty). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, pengampunan pajak secara nasional hanya diperuntukkan bagi para pelaku pidana fiskal dan pengemplang pajak di masa lalu.
“Yang akan diberi fasilitas (tax amnesty) mengarah pada pidana fiskal dan pajak,” kata dia usai menghadiri konferensi pers tentang penindakan impor ilegal tekstil dan produk tekstil (TPT) di kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (16/10). Jadi, “fasilitas istimewa” itu tidak bisa dinikmati oleh para koruptor, pelaku perdagangan manusia, teroris dan narkotika.
Sebelumnya Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR Firman Subagyo mengatakan, pengampunan pajak tidak berlaku bagi pelaku terorisme, narkotika, dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun, koruptor tidak dikecualikan dalam perlakuan tersebut.
Dalam draf RUU Pengampunan Pajak yang salinannya dimiliki Katadata, tidak menyebutkan adanya pengecualian bagi pidana korupsi. Dalam Pasal 10 disebutkan hanya ada tiga sanksi pidana yang tidak bisa mendapat insentif pengampunan pajak, yakni tindak pidana terorisme, narkotika dan perdagangan manusia. Saat ini, Baleg DPR tengah membahas RUU tersebut dan diharapkan dapat diundangkan pada akhir tahun ini.
(Baca: Baleg DPR: Koruptor Tidak Dapat Pengampunan Pajak)
Namun, Bambang bersikukuh bahwa pengampunan pajak hanya untuk para pelaku pidana fiskal dan pajak. “Nanti kalau kami ketemu DPR, kami akan bicara,” tukasnya. “Tanpa korupsi.”
Bambang menambahkan, pemerintah sudah memiliki hitung-hitungan potensi penerimaan pajak bila aturan tersebut sudah diberlakukan. Tapi, dia enggan menyebutkan nilai potensi penerimaan negara. “Lumayanlah,” imbuhnya. Sedangkan Firman pernah menaksir, berdasarkan hitungan-hitungan lembaga independen, potensi penerimaan negara dari pengampunan pajak di dalam negeri saja bisa mencapai Rp 3.000 triliun.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, draf RUU Tax Amnesty ini belum matang sehingga tidak akan optimal jika diterapkan sekarang. Pasalnya, pemerintah belum memiliki data yang akurat dan draf RUU itu belum memiliki skema repatriasi yang jelas.
Artinya, tidak ada kejelasan mengenai kewajiban bagi wajib pajak menempatkan dananya, seperti pada obligasi negara dengan jangka waktu lama. Alhasil, kondisi ini memungkinkan dana tersebut kembali ke luar negeri ketika insentif tidak lagi diberikan.
Dari sisi penerimaan pajak, Yustinus menilai, juga tidak sebanding dengan risiko pengorbanan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. “Kalau tiga persen misalnya, hanya akan dapat Rp 30 triliun, (pemerintah) ini harus hati-hati,” ujarnya kepada Katadata.