KATADATA ? Kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini dinilai berbeda dengan situasi menjelang terjadinya krisis 1998 dan 2008. Kendati kondisinya masih aman terkendali, kewaspadaan tetap perlu ada untuk menghalau kepanikan pasar akibat gejolak ekonomi yang terjadi di luar negeri.
Menurut Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Budi Hikmat, Bank Indonesia (BI) sebetulnya sudah memiliki kesadaran yang tinggi dalam menghalau potensi krisis (sense of crisis). Saat ini, yang menjadi salah satu fokus perhatian adalah kondisi perekonomian Malaysia. Mata uang ringgit melemah tajam sehingga menguras cadangan devisa negara jiran tersebut.
Ringgit Malaysia merupakan salah satu mata uang yang mengalami pelemahan cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sejak awal tahun, ringgit tercatat sudah melemah hingga 21 persen dan berdampak terhadap posisi cadangan devisa negara tetangga itu. Per Agustus, cadangan devisa Malaysia berada di angka US$ 94,5 miliar, atau turun 19 persen dibandingkan awal tahun.
Perkembangan ekonomi di Malaysia itu perlu diantisipasi agar tidak memicu kepanikan di kalangan pelaku pasar keuangan di Indonesia. Tanda-tanda krisis, kata dia, biasanya berawal dari adanya kepanikan yang menjalar. ?Karena 1997 kan (krisis bermula) dari Thailand. Sense of crisis itu hidup, tapi perlu didukung oleh undang-undang agar protokol krisis jadi jelas,? kata Budi kepada Katadata, Rabu (26/8).
Kalau melongok ke belakang, Budi menilai, situasi ekonomi saat ini berbeda dengan kondisi krisis pada 1998 dan 2008. Pada 1998, Indonesia berada di tengah pusaran krisis. Ibaratnya, krisis terjadi di rumah sendiri, sehingga yang dilakukan pada waktu itu adalah mencoba keluar. Sementara pada 2008, krisis tidak terjadi di rumah sendiri, dan Indonesia tidak sendirian menghadapi situasi tersebut. Kala itu, meski ada gejolak nilai tukar tapi harga komoditas masih tinggi.
Adapun yang terjadi sekarang, pelemahan nilai tukar rupiah dibarengi dengan penurunan harga minyak mentah dunia dan harga komoditas. Harga minyak tercatat sudah menyentuh level di bawah US$ 40 per barel, sementara rupiah sudah menembus level Rp 14.000 per dolar AS atau turun hingga 14 persen dibandingkan awal tahun.
Hal ini yang membuat situasi sekarang lebih berat dibandingkan 2008. Terlebih setelah Uni Eropa dan Jepang ikut menggelontorkan stimulus yang kemudian diikuti kebijakan Cina mendevaluasi mata uangnya. Di sisi lain, Indonesia tidak dapat mengambil kesempatan dari penguatan dolar AS dengan meningkatkan ekspor, karena harga komoditas tengah merosot.
?Makanya jangan tangisi rupiah, tapi ratapilah ketidakmampuan mengkapitalisasi penguatan dolar AS. Harusnya lebih baik kalau Indonesia banyak mengekspor manufaktur yang padat karya,? kata dia.
Kendati demikian, Budi menilai kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari krisis. Ini terlihat dari posisi cadangan devisa serta indikator makro ekonomi yang lebih baik dibandingkan 1998. Posisi cadangan devisa Indonesia per Juli 2015 sebesar US$ 107,6 miliar, turun 3,9 persen dibandingkan posisi pada awal tahun. Meski begitu, cadangan devisa masih cukup untuk membiayai impor selama tujuh bulan.
Sementara berdasarkan data yang dihimpun Katadata, cadangan devisa Indonesia pada akhir 1997 sebesar US$ 17,4 miliar, turun 8,9 persen dari posisi akhir 1996 sebesar US$ 19,1 miliar. Hingga Maret 1998, cadangan devisa terus melorot hingga US$ 14,4 miliar atau hanya setara 3,7 bulan impor.
Dia mengapresiasi pemerintah dan DPR yang ingin mempercepat pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung hukum pengambilan kebijakan ketika terjadi krisis. Kemudian yang juga perlu dilakukan adalah meningkatkan kerjasama internasional, seperti mengaktifkan perjanjian Chiang Mai Initiative dalam rangka memperkuat cadangan devisa di antara negara-negara ASEAN.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyebutkan, kondisi fundamental perekonomian Indonesia pada saat ini belum menunjukkan tanda-tanda terjadinya krisis. Termasuk dengan situasi menjelang terjadinya krisis 1998 dan 2008. ?Beda sekali. Kami sekarang dalam kondisi yang baik,? kata dia seusai rapat dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (25/8).
Ini dilihat dari laju inflasi Juli sebesar 7,26 persen yang lebih rendah dari akhir 2014 sebesar 8,36 persen. Begitu pula dengan defisit transaksi berjalan yang menunjukkan perbaikan, kemudian neraca perdagangan yang masih mengalami surplus. ?Jadi fundamental ekonomi Indonesia menunju kondisi yang lebih baik. Tapi memang pertumbuhan ekonomi tekena dampak dari harga komoditas yang turun,? kata dia.
Menurut dia, kondisi eksternal memang masih harus diwaspadai berasal dari ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Rate). Juga langkah Cina melemahkan mata uangnya, yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga kompetitif dengan won Korea dan yen Jepang. Untuk itu, dia meminta perusahaan di dalam negeri untuk berhati-hati dalam melakukan pinjaman dalam bentuk valuta asing (valas).
Catatan: Berita ini merupakan revisi dari berita berjudul "Berbeda dengan Situasi 1998, tapi RI Perlu Tingkatkan Sense of Crisis".