KATADATA ? Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) meningkatkan kewaspadaan di pasar uang pada semester II-2015. Sinyal lampu kuning ini dinyalakan terutama setelah melihat tekanan terhadap pasar saham dan nilai tukar rupiah.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi kondisi sistem keuangan Indonesia. Tekanan terhadap rupiah yang terjadi dalam dua hari terakhir, misalnya, merupakan imbas dari kebijakan bank sentral Cina menurunkan nilai mata uang renminbi.
Sementara di pasar saham, kombinasi situasi eksternal dan kinerja emiten yang lebih rendah dari ekspektasi investor membuat indeks harga saham gabungan (IHSG) melorot. ?(Melihat situasi itu) maka FKSSK sepakat untuk memperkuat (kewaspadaan),? kata Bambang dalam konferensi pers hasil rapat FKSSK di Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (13/8).
FKSSK yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun sepakat untuk menjaga stabilitas ekonomi di dalam negeri. Terutama dari sisi inflasi dan defisit neraca transaksi berjalan. Termasuk menjaga sumber-sumber pendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka pendek, ada dua fokus yang akan dilakukan FKSSK. Pertama, meningkatkan investasi pemerintah dan swasta. Terutama yang dapat menstimulus pembangunan infrastruktur dan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Kedua, menjaga daya beli masyarakat, dengan mengupayakan turunnya harga barang dan jasa. Di samping pula menjaga ketersediaan kredit di lembaga keuangan.
Sebagai langkah persiapan, pemerintah sudah menyerahkan rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ke DPR. Pemerintah berharap parlemen dapat segera membahas undang-undang yang mengatur protokol krisis tersebut.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyampaikan, masih ada peluang bagi bank sentral Cina untuk kembali menurunkan nilai mata uangnya. Hasil pantauan BI, posisi yuan saat ini masih belum kompetitif bila dibandingkan dengan yen Jepang dan won Korea, meski Bank of China sudah dua kali menurunkan nilai mata uangnya. Apalagi masih belum pastinya kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS). (Baca: Data Ekonomi Mengecewakan, Rupiah pun Lemah)
BI menilai, sentimen dolar AS yang kuat akan mewarnai situasi ekonomi global ke depan. The Fed pun ada kemungkinan untuk menaikkan suku bunganya hingga dua kali dalam setahun, sehingga menyebabkan ada penyesuaian suku bunga global dalam dua sampai tiga tahun ke depan. ?Ini yang perlu diantisipasi,? tutur dia.
Chief Economist IGIco Advisory Martin Panggabean menilai, pemerintah perlu menyiapkan rencana strategi besar untuk menghadapi perang mata uang global. Apalagi Cina diperkirakan masih akan melakukan devaluasi mata uangnya.
?Dampak global currency war terhadap kondisi Indonesia ini akan berpengaruh sangat signifikan, karena perekonomian kita sangat rentan. Defisit terhadap Cina akan membengkak, karena banyak proyek infrastruktur di Tanah Air mengandalkan Cina. Tidak hanya bahan mentah, barang modal, tapi juga sumber daya manusia,? kata dia.