KATADATA ? Pemerintah akan memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk sektor rumah tangga dan transportasi. Hal tersebut akan diatur dalam peraturan presiden (perpres) mengenai tata kelola gas yang sedang disusun pemerintah.

Dalam draf perpres tersebut dijelaskan bahwa pemerintah menetapkan sektor prioritas pemanfaatan gas bumi di dalam negeri. Ada lima sektor yang akan diprioritaskan, yakni lifting migas, industri pupuk, pembangkit listrik, industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku atau bahan bakar, serta rumah tangga dan transportasi.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja menyebut selama ini pemanfaatan gas bumi paling banyak digunakan untuk lifting migas, industri pupuk, dan listrik.

"Ke depan akan dikategorikan lifting, pupuk, bahan baku industri, transportasi-rumah tangga, listrik, industri umum lainnya," kata dia kepada Katadata, Selasa (23/6).

Keterbatasan infrastruktur membuat pemanfaatan gas bumi untuk sektor rumah tangga dan trasnportasi belum maksimal. Makanya hingga kini dua sektor tersebut lebih banyak menggunakan produk minyak bumi. 

Untuk rumah tangga, saat ini pemerintah masih memprioritaskan gas yang merupakan produk minyak, yakni LPG (liquefied petroleum gas). Pembagian paket perdana Elpiji pun masih dilakukan hingga sekarang. Bahkan pemerintah masih meminta tambahan alokasi subsidi Elpiji tahun depan sebesar 18 persen dari tahun ini.

(Baca: Pemerintah Bangun 40.000 Jaringan Gas Rumah Hingga 2019)

Selain masalah alokasi pemanfaatan gas bumi, perpres tersebut juga akan mengatur penetapan harga gas, neraca gas, infrastruktur dan pembentukan badan penyangga atau aggregator. Kementerian menjanjikan perpres ini akan keluar dalam waktu dekat.

Pembangunan infrastruktur sangat penting agar penyerapan gas domestik bisa lebih maksimal. Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dari total 68 kargo alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri, hanya 47 kargo yang sudah terkonfirmasi. Itu pun hanya 27 yang sudah dikontrak, sisanya 20 lagi belum terkontrak.

Rendahnya serapan dalam negeri disebabkan masih minimnya infrastruktur distribusi gas di dalam negeri. Dengan adanya kelebihan pasokan gas tersebut, muncul wacana untuk menjualnya ke luar negeri, bahkan dengan harga yang lebih murah.

(Baca: 20 Kargo Gas Jatah Dalam Negeri Belum Terserap)

"Dengan infrastruktur terbangun maka tidak ada lagi yang menjual gas dengan murah. Selama ini infrastruktur penyimpanan dan penyaluran belum terhubung," ujar dia.

Infrastruktur gas ini nantinya akan dibangun oleh badan penyangga atau agregator yang akan dibentuk pemerintah. Selain membangun infrastruktur, agregator juga akan memiliki tugas untuk mengolah harga.

Agregator ini juga akan menjamin penyediaan gas untuk lima sektor prioritas tersebut. Namun, pemerintah belum menentukan siapa yang akan berperan sebagai aggregator ini.

"Dia nanti yang bertugas kumpulkan gas dari berbagai sumber dan memix harganya. Setelah itu harganya dikeluarkan beda beda untuk jenis industri. Misal untuk pupuk berapa, untuk keramik berapa," ujar dia.

Pemerintah dalam Perpres tersebut juga menyusun neraca gas untuk mengetahui kebutuhan gas dalam negeri. Dari neraca yang ada saat ini, Wiratmaja mengatakan Indonesia berpotensi mengimpor gas pada 2019. Ini disebabkan kebutuhan dalam negeri yang sangat besar, sementara infrastrukturnya masih sedikit.

Wak Ketua Komisi VII Satya Widhya Yudha sempat mengingatkan meski melakukan impor, pemerintah harus tetap mengatur harga gas untuk kebutuhan dalam negeri. Jangan sampai harga gas dalam negeri dibiarkan mengacu pada mekanisme pasar.

"Domestik tidak boleh market price akan jadi masalah konstitusi. Harus tetap  diregulasi pemerintah," ujar dia.

Reporter: Arnold Sirait