Upaya Pemerintah Tarik Dana Orang Indonesia di Luar Negeri

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Safrezi Fitra
5/6/2015, 18.52 WIB

KATADATA ? Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan tengah mengkaji kemungkinan untuk menarik dana orang Indonesia di luar negeri. Dana ini akan didorong masuk dalam obligasi ataupun saham di dalam negeri.

?Alternatifnya bukan hanya government bond, tapi bisa saham perusahaan. Yang penting isinya pada usaha yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,? kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama usai menghadiri diskusi bertajuk ?Menimbang Pro dan Kontra Tax Amnesty? di Jakarta, Jumat (5/6).

Harapannya, dana yang masuk dalam obligasi dan saham dengan menggunakan metode pembukuan held to maturity. Ditjen Pajak mengusulkan batas minimal jangka waktunya ditentukan selama lima tahun. Artinya obligasi atau saham yang dimiliki, tidak bisa dipindahtangankan dalam jangka paling sedikit lima tahun.

Mekar mengatakan upaya untuk mengembalikan aset orang Indonesia di luar negeri ini salah satunya dengan kebijakan pengampunan pajak. Pemerintah akan mengenakan tarif kompensasi bagi orang Indonesia yang memiliki aset di luar negeri.

Jika wajib pajak melaporkan asetnya yang berada di luar negeri, dalam dua bulan setelah kebijakan tax amnesty diterapkan, tarifnya sekitar 7,5 persen ? 10 persen. Jika pelaporannya dilakukan paling lambat empat bulan setelah penerapa tax amnesty, maka tarifnya akan lebih tinggi, sebesar 15 persen ? 20 persen.

Meski demikian, wajib pajak masih bisa mendapatkan pengurangan tarif kompensasi ini jika menarik asetnya dan menaruhnya di obligasi atau saham di dalam negeri. Pengurangannya mencapai 5 persen dari tarif yang dikenakan. Menurut Mekar rencana ini masih akan dikaji lagi oleh pemerintah.

Selama ini Ditjen Pajak mengakui tidak memiliki data yang valid mengenai berapa banyak dana orang Indonesia yang berada di luar negeri. Dengan kebijakan seperti ini, Ditjen Pajak bisa mendapat data lengkap dari wajib pajak yang memiliki aset di luar negeri.

Dia yakin kebijakan ini akan mampu mendorong pengusaha yang memiliki aset di luar negeri untuk melaporkan hartanya dan memindahkannya ke Indonesia. Dengan melaporkan data yang lengkap, wajib pajak bisa terbebas dari sanksi administrasi dan pidana pajaknya.

Direktur Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro mengatakan pemerintah seharusnya bisa memiliki data yang jelas mengenai berapa besar dana orang Indonesia yang berada di luar negeri. Dia khawatir, minimnya data tidak bisa efektif untuk memaksa wajib pajak melaporkan seluruh hartanya tanpa dikurangi. Apalagi hanya untuk mendapat pengampunan pajak.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah menyebut besaran dana tersebut mencapai Rp 3.000 triliun, berbeda dengan perhitungan lembaga lain. Setyo mengatakan data Tax Justice Network mencatat dana orang Indonesia yang ada di luar negeri mencapai Rp 3.600 triliun. Sedangkan, menurut McKinsey hanya Rp 3.250 triliun, dan Global Financial Integrity memperkirakan Rp 2.400 triliun yang dihimpun sejak 1990-an.

?Database pajak apakah memadai? Takutnya, yang dilaporkan lebih sedikit lalu diampuni. Ini jadi berkompromi dengan orang yang 'culas',? tutur Budi.

Budi mengatakan, ketimbang menerapkan tax amnesty lebih baik pemerintah memperbaiki Undang-Undang Perbankan untuk mendapat data yang lebih konkrit. Selain itu, mengoptimalkan pertukaran data (automatic exchange of information) terkait pajak. Termasuk memanfaatkan unilateral policy dari pemerintah Amerika Serikat (AS) yakni Foreign Account Tax Compliance Act (FACTA).

Reporter: Desy Setyowati