KATADATA ? Indonesia tidak bisa melawan tren penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Jika terlalu ngotot menjaga nilai tukar rupiah, Indonesia kembali terperosok dalam krisis pada 1997.
Menurut Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, penguatan dolar AS yang terjadi saat ini merupakan tren global yang tidak bisa dihindari. Sebabnya pertama, perbaikan ekonomi AS membuat aliran dana ke negara tersebut menjadi lebih besar. Apalagi ini dibarengi dengan rencana the Fed menaikkan suku bunga, sehingga investasi di sana menjadi lebih menguntungkan.
Kedua, penghentian stimulus moneter oleh the Fed membuat pasokan dolar menjadi berkurang, sementara Uni Eropa dan Jepang melakukan kebijakan stimulus. Alhasil, likuiditas di AS berkurang, sedangkan di negara lain meningkat.
?Dana dari Eropa dan Jepang masuk ke AS, bertukar dengan dolar yang sedikit. Jadi dolar menguat,? kata Budi di kantornya, Jakarta, Selasa (17/3). ?Tapi dampak penguatan dolar di setiap negara berbeda, tergantung defisit transaksi berjalannya.?
(Baca: "Jangan Mimpi Rupiah Kuat")
Menurutnya, Bank Indonesia (BI) akan percuma melakukan intervensi untuk memperkuat rupiah dalam situasi ini. Persoalannya tidak ada yang bisa melawan tren penguatan dolar pada saat ini. Dia mengibaratkan, intervensi terhadap rupiah hanya seperti menggarami lautan.
Jika BI terlalu reaktif melakukan intervensi justru akan dimanfaatkan spekulan mengambil untung dengan menjual rupiah. Jika ini terjadi, bukan hanya cadangan devisa yang berkurang, tapi rupiah bisa tambah tertekan.
?Kalau rupiah menguat dan dolar menguat itu mirip 1997, sementara tren dolar menguat dahsyat. Bayangkan, kalau berlarut-larut Soros tahu, (rupiah) overvalued maka banyak yang sell. Justru di situ pecahnya,? kata Budi.
BI cukup menjaga menjaga stabilitasi rupiah dan pasar keuangan supaya tidak terlalu bergejolak dengan cara membeli obligasi yang jatuh. BI cukup menjaga rupiah sebanding dengan mata uang lainnya untuk menjaga daya saing secara nominal. Langkah BI ini akan efektif jika dibarengi dengan reformasi fiskal pemerintah. (Baca: Ekonografik: Rusia Kuras Devisa, BI Pilih Bertahan)
Ekonom Bank Dunia Ndiame Diop berharap, pemerintah dapat meningkatkan ekspor produk manufaktur untuk memanfaatkan pelemahan kurs rupiah saat ini. Dengan demikian, pemerintah mesti mempercepat pembangunan infrastruktur. Hal ini akan menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
?Problem Indonesia adalah pertumbuhan ekspor yang melambat sejak 2011 seiring menurunnya harga komoditas,? kata dia di Jakarta, Rabu (18/3).
Dia menyebutkan tiga tantangan ekonomi Indonesia. Pertama, perlambatan ekonomi Cina yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia. Kedua, tren penguatan dolar AS. Ketiga, minimnya infrastruktur yang merupakan kunci utama untuk tumbuh secara berkelanjutan. (Baca: Ekonografik: 8 Cara Jokowi Selamatkan Rupiah)
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,2 persen pada 2015 dan 5,5 persen pada 2016. Hingga akhir pemerintahan Jokowi, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi maksimal sebesar 6 persen. ?Kalau infrastruktur dikerjakan cepat, mungkin kami tidak akan ragu-ragu untuk mengubah proyeksi pertumbuhan,? tutur Diop.