Jokowi Capres, Rupiah Diprediksi Stabil

KATADATA | Donang Wahyu
KATADATA | Agung Samosir
Penulis:
Editor: Arsip
21/2/2014, 00.00 WIB

KATADATA ? Pencalonan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden diyakini akan membuat kurs rupiah menjadi lebih stabil. Saat ini investor cenderung menunggu momentum politik untuk melihat perekonomian Indonesia.

Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara Tbk Agustinus Prasetyantoko mengatakan, pencalonan Jokowi, panggilan akrab mantan Walikota Solo tersebut, akan memberikan kepastian politik di Indonesia.

?Faktanya kalau Jokowi maju dicalonkan sebagai presiden, investor yakin pemilihan presiden akan berlangsung satu putaran,? kata Prasetyantoko yang dihubungi Katadata, Jumat (21/2). ?Ini akan mengurangi ketidakpastian.?

Menurutnya, investor secara umum bersikap pragmatis, karena yang mereka harapkan adalah pemerintahan yang punya legitimasi dan kuat di parlemen. ?Itu sepertinya akan terjadi kalau Jokowi yang jadi calon presiden,? tuturnya. ?Parlemen akan solid, karena koalisi di pemerintahan cukup dengan satu atau dua partai saja.?

Hal yang sama dikatakan Lana Soelistianingsih, kepala Ekonom Samuel Sekuritas. Menurutnya, jika Jokowi terpilih sebagai presiden akan memberikan sentimen positif terhadap rupiah. Jokowi dinilai akan memberikan kepastian di pasar keuangan. ?Faktor Pak Jokowi akan membantu memperkuat masuknya dana asing, karena dia tokoh lama dan track record kinerjanya baik,? kata dia.

Dia memprediksi jika pemilu berlangsung lancar, rupiah akan berada di kisaran Rp 10.800 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir tahun. ?Pemilu akan membuat dana asing kembali masuk ke saham dan obligasi,? tutur Lana. ?Tapi siapapun presidennya diharapkan pro investor dan tidak akan melakukan hal yang merugikan pasar.?

Faktor Jokowi memang tidak luput dari perhatian pengamatan investor asing. Malaysian Banking Berhad (Maybank) misalnya, dalam risetnya yang dikeluarkan pada 19 Februari lalu menyebutkan risiko yang dihadapi rupiah ke depan selain faktor fundamental seperti data perekonomian, dan kebijakan pengurangan stimulus (tapering) The Fed adalah faktor Jokowi.

Dalam risetnya tersebut, Maybank menyebutkan jika Jokowi tidak terpilih sebagai kandidat presiden dalam pemilu dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastian di pasar. ?Jadi mungkin jangan heran kalau rupiah akan kembali ke level Rp 12.000-an pada 3-6 bulan ke depan,? sebut Maybank dalam risetnya.

Berdasarkan data, kecenderungan penguatan rupiah setelah pemilu pernah terjadi pada 2009. Ketika itu, Indonesia juga tengah dibayangi situasi pasca-krisis 2008. Rupiah sempat mencapai titik terendah pada 24 November 2008 di posisi Rp 12.400 per dolar Amerika Serikat. 

Pemilu legislatif yang berlangsung lancar, serta pemilihan presiden yang berlangsung satu putaran membuat rupiah semakin kuat. Pada akhir 2009 tercatat rupiah berada di posisi Rp 9.400 per dolar AS, menguat sekitar 14 persen dari posisi pada akhir 2008.

Belum Solid

Menurut Prasetyantoko, penguatan yang terjadi pada rupiah saat ini belum menunjukkan penguatan yang solid. Penguatan yang terjadi terutama pada pekan kedua Februari merupakan dampak dari membaiknya fundamental perekonomian Indonesia, terutama defisit neraca transaksi berjalan turun di luar dugaan. Selain itu, kondisi Indonesia pun dinilai lebih menarik ketimbang negara emerging markets lainnya. (Baca juga: Tekanan Depresiasi terhadap Rupiah Mulai Mereda)

?Misalnya Thailand yang sekarang bergejolak, atau Argentina yang pada awal tahun sempat terkena krisis mata uang,? kata dia. ?Ini membuat Indonesia menjadi lebih menarik daripada negara lain di regional.?

Namun, yang jadi persoalan bagi investor adalah apakah situasi ini akan terus berlanjut. ?Menurut saya (penguatan rupiah) sekarang masih belum solid. Tapi indikasinya sudah ada,? kata Prasetyantoko.

Adapun faktor kebijakan tapering oleh The Fed dinilainya sudah tidak perlu ditakutkan lagi karena isunya sudah berlangsung lama dan sudah diantisipasi oleh investor. Tapi yang justru dikhawatirkan adalah jika The Fed menaikkan suku bunga. ?Ini akan menyebabkan perpindahan aliran modal dari emerging markets ke AS,? kata dia. 

Reporter: Aria W. Yudhistira, Nina Rahayu