Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan anggaran penanganan virus corona hingga 2021. Bahkan, pemerintah membuka peluang untuk mengalokasikan dana untuk mengatasi pandemi corona hingga 2022.
"Dana penanganan Covid-19 ini bukan hanya untuk antisipasi 2020, tapi 2021 dan kemungkinan bisa sampai 2022," ujar Direktur Jenderal Anggaran Askolani saat video conference di Jakarta, Selasa (21/4).
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Di dalamnya, pemerintah sudah merancang satu paket dukungan penanganan pandemi corona lanjutan di tahun depan.
"Terutama mereformasi (anggaran) di bidang kesehatan, pendidikan, dan jaring pengaman sosial," kata dia. (Baca: Jokowi Teken Perpres Perubahan Postur APBN 2020 untuk Atasi Corona)
RAPBN 2021 rencananya akan disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan depan. Askolani berharap rancangan anggaran ini bisa menjadi langkah yang tepat bagi pemerintah dalam mendukung dunia usaha dan masyarakat yang terdampak pandemi virus corona.
Dengan demikian, daya beli masyarakat diharapkan kembali meningkat pada tahun depan. "Kegiatan usaha bisa kembali meningkat bukan hanya jangka pendek namun jangka panjang," katanya.
Askolani menyampaikan, anggaran penanganan Covid-19 kemungkinan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Sebab, pelebaran defisit anggaran di atas 3% telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 1 Tahun 2020 terkait penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi.
(Baca: RI Negara Pertama Asia yang Jual Obligasi Global Rp 69 T saat Pandemi)
Perppu tersebut akan berlaku selama tiga tahun mulai dari 2020 hingga 2022. Pada 2023, ia berharap defisit APBN bisa dikendalikan di bawah 3%, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Askolani pun berharap langkah pemerintah itu bisa dipahami seluruh lapisan masyarakat. "Ini karena memang merupakan langkah extraordinary di tengah kondisi ini," ujarnya.
Ekonom Senior dan Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri turut mendukung langkah pemerintah tersebut. Meski harus melebarkan defisit anggaran, ia menilai kebijakan pemerintah memang harus difokuskan untuk penanggulangan dampak pandemi.
"Saya termasuk yang konservatif, dulu saya selalu jaga defisit di 3%. Tapi ini kondisi yang extraordinary," kata Chatib pada kesempatan yang sama.
Pelebaran defisit tersebut justru mengundang reaksi positif pasar keuangan. Hal ini tecermin dari masih tingginya minat investor terhadap surat utang global pemerintah (global bond) yang baru saja dikeluarkan.
(Baca: Dampak dan Risiko Defisit Anggaran hingga 5,07% untuk Atasi Corona)