Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan tengah memfinalisasi keputusan terkait berbagi beban dalam pembiayaan APBN untuk pemulihan ekonomi nasional. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pihaknya akan ikut berbagi beban dengan pemerintah, tetapi tanpa terlalu membebani neraca keuangan lembaga tersebut.
"Kami berunding terus dengan Menteri Keuangan dan terkait berbagi beban, kami sudah punya kesepakatan," ujar Perry dalam sesi Webinar yang diselenggarakan Fakultas Bisnis dan Manajemen IPB, Sabtu (27/6). Acara itu juga dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai salah satu pembicara.
Berbagi beban dalam pendanaan APBN akan dilakukan BI melalui operasi monter. Ini juga dilakukan dengan memperhitungkan kemampuan neraca keuangan BI.
"Intinya Bank Indonesia siap untuk menyediakan pendanaan APBN dengan berbagi beban, BI juga siap menanggung beban yang lebih,” kata dia.
Kesepakatan tersebut, menurut dia, tinggal menunggu konsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan DPR. Selain itu, bakal ada Keputusan Dewan Gubernur di tingkat internal. "Komisi XI juga sudah mendukung ke konteks extra ordinary dan kondisi ini memerlukan percepatan," jelas dia.
(Baca: BI Bersedia Berbagi Beban dengan Pemerintah untuk Pulihkan Ekonomi)
Perry menjelaskan, pihaknya juga telah menggulirkan kebijakan pelonggaran kuantitatif, terutama dengan menambah likuiditas perbankan. Melalui kebijakan tersebut, BI telah menyuntik likuiditas perbankan mencapai Rp 614,8 triliun.
"BI selama ini melakukan quantitative easing ke perbankan. Ternyata di perbankan mandek. Sekarang memerlukan quantitative easing melalui jalur fiskal," jelas dia.
Pembicaraan terkait kesepakatan pembagian beban atau burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk mendanai penanganan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi corona, dikabarkan berlangsung alot, berlarut-larut, hingga belum menemui titik temu. Kondisi ini disinyalir menjadi salah satu alasan Menteri Keuangan Sri Mulyani menarik dana yang semula ditempatkan di BI sebesar Rp 30 triliun ke empat bank BUMN.
Sumber Katadata.co.id di Kementerian Keuangan mengungkapkan, kesepakatan penempatan dana antara Kementerian Keuangan dan Himbara karena hingga kini belum ada uang yang dikucurkan ke perbankan dalam rangka restrukturisasi kredit. Padahal, likuiditas bank mulai terbatas, terutama pada bank BUMN yang memiliki banyak nasabah UMKM.
(Baca: Di Balik Aksi Sri Mulyani Pindahkan Uang Pemerintah dari BI ke Himbara)
Dengan keterbatasan likuiditas, bank tentu akan menahan diri dalam menyalurkan kredit. Hal ini berpotensi membuat pemulihan ekonomi tertahan. Di sisi lain, penempatan dana di bank BUMN dengan menggunakan dana pemerintah di BI juga merupakan buntut dari diskusi panjang antara Kementerian keuangan dengan BI terkait burden sharing pembiayaan utang.
Kementerian Keuangan berharap BI dapat "berbagi beban" dalam pendanaan pemulihan ekonomi saat ini melalui pembelian surat utang pemerintah dengan harga (bunga) khusus. Namun, BI bersikukuh membeli surat utang pemerintah di pasar perdana dengan harga pasar. Lantaran belum juga mencapai kesepakatan, Kementerian Keuangan akhirnya memilih menanggung sendiri beban pembiayaan tersebut.
Dalam hitungan pemerintah pada pertengahan bulan lalu, kebutuhan penerbitan surat berharga negara untuk memenuhi pembiayaan utang pada Juni hingga Desember 2020 mencapai Rp 990 triliun. Hitungan tersebut masih menggunakan asumsi defisit anggaran sebesar 6,27% produk domestik bruto atau Rp 1.028,5 trilun. Sementara prediksi defisit anggaran teranyar yang dikeluarkan Sri Mulyani sebesar 6,34% atau mencapai Rp 1.039 triliun.