Burden Sharing Pemerintah dan BI Berisiko Menggoyang Kurs Rupiah

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.
Ilustrasi. Burden sharing antara pemerintah dan BI melalui monetisasi utang berisiko mendepresiasi nilai tukar.
Penulis: Agustiyanti
7/7/2020, 21.46 WIB

Pemerintah dan Bank Indonesia akhirnya sepakat untuk berbagi beban pembiyaan defisit anggaran akibat dampak pandemi corona. Burden sharing melalui monetisasi utang ini diyakini tak berdampak negatif pada investor.

Nilai tukar rupiah pada perdagangan awal pekan ini berangsur menguat ke level Rp 14.440 per dolar AS setelah jatuh pada pekan lalu. Rupiah jatuh sepanjang pekan kemarin lebih dari 300 poin kembali menyentuh level Rp 14.500 per dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan pembahasan burden sharing antara pihaknya dan pemerintah memberikan andil pada pelemahan rupiah pekan lalu. Pasar yang diliputi ketidakpastian lantaran belum ada pengumuman kesepakatan memberikan respons negatif.

"Persepsi itu kan sudah terjawab tuntas. Kemarin pasar mempertanyakan dan sudah terjawab bahwa burden sharing ini one-off policy, pembelian SBN oleh BI hanya berlaku tahun ini," ujar Perry dalam konferensi pers terkait burden sharing pemerintah dan BI pada Senin (6/7).

Pembiayaan defisit anggaran pemerintah membengkak Rp 903,46 triliun akibat Covid-19. Sebagian defisit tersebut akan dibiayai penuh oleh Bank Indonesia.

(Baca: Pemerintah - BI Akhirnya Sepakat Skema Burden Sharing, Ini Hitungannya)

BI akan menanggung penuh atau 100% beban pembiayaan defisit untuk belanja publik yang terdiri dari belanja kesehatan, perlindungan sosial, dan sektoral K/L dan Pemda sebesar Rp 397,56 triliun.

Bank sentral juga akan membiayai belanja barang non-public seperti bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun dan pembiayaan korporasi non-UMKM Rp 53,57 triliun. Namun, pembiyaan untuk belanja barang non-publik akan melalui penerbitan SBN dengan mekanisme pasar sesuai kesepakatan sebelumnya pada UU Nomor 2 tahun 2020.

BI akan menjadi stand by buyer atau masuk saat pasar tak mampu menyerap seluruh rencana penerbitan SBN pemerintah. Dalam penerbitan SBN untuk pembiayaan non-public goods yang diperuntukkan bagi UMKM, BI akan memperoleh bunga hanya sebesar reverese repo rate dikurangi 1%. Sedangkan untuk pembiayaan non-public goods korporasi, BI memperoleh bunga sebesar reverse repo rate yang saat ini ditetapkan sebesar 4,3%.

Meski melakukan monetisasi utang, Perry memastikan kebijakan moneter lainnya tak akan terpengaruh. Ia memastikan BI akan tetap berhati-hati dan membuat kebijakan yang sehat bagi pasar keuangan.

(Baca: Sri Mulyani: Penempatan Dana Pemerintah di Bank BUMN akan Diperpanjang)

Pemerintah dan BI, menurut dia, telah menghitung secara matang kebijakan burden sharing ini, termasuk menyiapkan skema exit policy. Cadangan modal otoritas moneter saat ini juga dipastikan kuat untuk menanggung tambahan beban dari pemerintah.

"Di akhir 2019 kami mempunyai modal Rp 216 triliun dan tentu saja dengan tingginya modal BI dan rasio modal di atas 10% kami siap berbagi beban untuk tugas kenegaraan," katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memastikan skema monetisasi utang ini yang dibuat pemerintah dan BI telah diperhitungkan dengan matang. Ia pun percaya pelaku pasar akan memahami kebijakan burden sharing ini menjadi bagian dari komitmen pemerintah dan BI untuk tetap menciptakan kebijakan yang sehat dan berhati-hati.

"Mandat BI ini berbeda sekali dengan bank sentral lain, sehingga kami membuat skema apa yang cocok dengan mandat BI, tetapi juga akuntable dan efektif untuk menangani Covid-19," katanya.

Ia menekankan kondisi krisis ekonomi akibat Covid-19 saat ini belum pernah terjadi sebelumnya sehingga dibutuhkan tindakan atau pendekatan yang tidak biasa, antara lain melalui kebijakan monetisasi utang. Meski demikian, ia memastikan kebijakan moneter dan fiskal ke depan akan tetap sehat dan hati-hati, serta sesuai kaidah pasar.

Pemerintah memperkirakan defisit anggaran akan kembali berada di bawah 3% terhadap PDB pada 2023, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual menjelaskan Indonesia hanya satu dari banyak negara yang melakukan monetisasi utang. Dengan demikian, menurut dia, pasar kemungkinan tak akan memberikan respons negatif, apalagi berlebihan terkait kebijakan ini.

"Sepanjang dosisnya sesuai saya rasa pasar tidak akan merespons negatif. Investor juga mau ke mana lagi, negara-negara maju melakukan monetisasi lebih besar. Sedangkan di emerging market, kondisi India lebih buruk," ujarnya.

(Baca: BI Bakal Tanggung Biaya Utang untuk Pemulihan Ekonomi Rp 35,9 Triliun)

David pun menilai kebijakan burden sharing yang disepakati pemerintah saat ini sudah memiliki dosis yang cukup. Ia meyakini pemerintah dan BI telah menghitung cukup matang dampak monetisasi utang ini ke berbagai aspek.

"Pengaruh ke inflasi dan ke rupiah juga sepertinya tidak akan signifikan. Pekan lalu, rupiah melemah saya rasa juga karena dipengaruhi oleh impor yang mulai meningkat akibat pelonggaran PSBB," katanya.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyebut kebijakan BI untuk membiayai operasi fiskal pemerintah dapat meningkatkan peredaran uang sebesar 14,4%. Namun, kenaikan peredaran uang ini diperkirakan hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 0,43%.

"Ada lebih dari cukup ruang untuk BI menerapkan langkah ini karena inflasi Juni hanya sebesar 1,96% yoy atau 1,09% ytd," ujarnya.

Kebijakan ini juga memang dapat mendepresiasi atau melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, ia memperkirakan rupiah hingga akhir tahun ini akan stabil di level Rp 14.296 per dolar AS didukung oleh defisit transaksi berjalan yang rendah dan berkurangnya ketidakpastian di pasar global.

Sri Mulyani dan Perry Warjiyo sebelumnya dikabarkan berdebat cukup alot sebelum akhirnya mencapai kesepatakan burden sharing yang diumumkan kemarin. Perdebatan kebijakan monetisasi utang ini tak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga negara berkembang lainnya.

(Baca: Di Balik Aksi Sri Mulyani Pindahkan Uang Pemerintah dari BI ke Himbara)

Dikutip dari Bloombergquint, studi yang dilakukan The Institute of International Finance menunjukkan sebagian besar ekonomi pasar negara berkembang memilih untuk menjauh dari pelonggaran kuantitatif skala besar seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju. Pelonggaran kuantitatif dinilai memiliki risiko yang lebih besar bagi negara berkemabang lantaran dapat mendepresiasi mata uang dan mengerek inflasi.

Adapun dibanding sejumlah negara emerging lainnya, proyeksi defisit fiskal Indonesia yang mencapai 6,34% terhadap PDB terbilang lebih rendah. IIF memproyeksi defisit fiskal India pada tahun ini mencapai 11,5% dari produk domestik bruto, Brazil sebesar 13% dari PDB, dan Afrika Selatan sebesar 14% dari PDB.

Di Brazil, pemerintah sejauh ini mengandalkan simpanannya di bank sentral untuk membiayai defisit anggaran. Operasi ini tak melibatkan penerbitan utang baru, tetapi meningkatkan utang yang dipegang oleh sektor swasta karena bank sentral melakukan perubahan pada deposito pemerintah dan menjual obligasi pemerintah yang dimilikinya.

Namun pada akhirnya, bank sentral Brazil kemungkinan menyerap sebagian penerbitan obligasi pemerintah.

Di Afrika Selatan, bank-bank lokal menyerap penerbitan utang pemerintah secara bertahap. Namun, IIF memperkirakan South African Reserve Bank pada akhirnya harus turun tangan.

Sementara di India, kebutuhan pendanaan pemerintah masih dipenuhi oleh sistem keuangan domestik. Namun, IIF memperkirakan pemerintah India akan mengandalkan sumber pembiayaan non-obligasi secara luas, seperti dana tabungan kecil nasional.

Reporter: Agatha Olivia Victoria