Keterlambatan proses pembayaran restitusi pajak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan dalam pengelolaan APBN yang berulang hampir setiap tahun. Auditor negara ini pun meminta pemerintah dapat lebih memitigasi permasalahan tersebut.
Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono menyebut pihaknya kembali menemukan permasalahan keterlambatan pembayaran restitusi pajak sebesar Rp 11,62 triliun pada LKPP 2019. "Ini kemudian menjadi utang pemerintah kepada pihak swasta," kata Agus dalam konferensi virtual, Selasa (21/7).
Menurut Agus, keterlambatan proses pembayaran restitusi pajak sebenarnya merupakan permasalahan administrasi biasa. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan LKPP 2019 ditemukan tiga penyebab masalah restitusi pajak.
Pertama, wajib pajak terlambat menyampaikan nomor rekening dalam negerinya. Dengan demikian, Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak tidak dapat diterbitkan dan disampaikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Kedua, Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) terbit berdekatan dengan batas waktu pengajuan SPMKP di akhir tahun yaitu paling lambat tangga 16 Desember 2019. Hal ini menyebabkan SPMKP tidak dapat diterbitkan atau tidak diterima oleh KPPN.
Ketiga, SPMKP yang diterbitkan ditolak oleh KPPN karena permasalahan sistem dan tidak sempat lagi dilakukan pembetulan SPM karena berdekatan dengan batas akhir penyampaian di akhir tahun.
Adapun Direktorat Jenderal Pajak telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-36/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak pada tanggal 29 Desember 2019. SE tersebut antara lain mengatur jangka waktu penerbitan SPMKP setelah terbitnya SKPKPP, termasuk batas waktu permintaan nomor rekening.
Namun, SE ini baru diberlakukan pada 2020. Adapun pada tahun lalu, DJP belum memiliki ketentuan yang mengatur tenggat waktu penerbitan SPMKP setelah terbitnya SKPKPP berikut sanksi yang dapat dikenakan atas kelalaian apabila terlambat menerbitkan.
"Kami harap SE tersebut bisa membantu mempercepat proses pembayaran restitusi yang sekarang sedang berlangsung," ujar Agus.
Kendati demikian, BPK menyoroti tidak adanya pengaturan terkait sanksi dalam SE tersebut yang dapat dikenakan apabila kantor pelayanan pajak terlambat menerbitkan SPMK yakni paling lambat 5 hari kerja. Kemudian, masih terdapat opsi yang dapat mengesampingkan jangka waktu lima hari kerja tersebut.
Opsi yang dimaksud adalah apabila wajib pajak belum menyampaikan rekening dalam negerinya saat SKPKPP diterbitkan tanpa nomor rekening, maka lima hari kerja baru dihitung sejak KPP menerima nomor rekening dalam negeri wajib pajak.
Di sisi lain, pemerintah menyusun ulang alokasi penerimaan negara dalam APBN 2020. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan aktivitas perekonomian terganggu. Akibatnya, target APBN diperkirakan sulit tercapai seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.