Pemerintah Anggarkan Rp 448 T dalam Lima Tahun untuk Perubahan Iklim

ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herm
Aktivis perubahan iklim dari Greenpeace memasang spanduk di gedung kantor pusat Dewan Uni Eropa, menggambarkan gedung yang terbakar, menjelang ktt pemimpin negara Uni Eropa di Brussels, Belgia, Kamis (12/12/2019).
27/8/2020, 18.07 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 89,6 triliun per tahun selama lima tahun terakhir sejak 2016, untuk anggaran perubahan iklim. Sehingga totalnya mencapai Rp 448,3 triliun sampai dengan 2020.

Meski demikian alokasi anggaran tahun ini mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya lantaran adanya kejadian luar biasa Covid-19. "(Anggaran) 2020 mengalami perubahan sangat besar karena Covid-19," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Kamis (27/8).

Menkeu menjelaskan tahun ini alokasi pendanaan iklim turun dikarenakan kebijakan realokasi dan refocussing APBN. Alokasi anggaran untuk penanggulangan perubahan iklim tahun ini terdiri dari 55% untuk aksi mitigasi dan 45% untuk aksi adaptasi.

Secara perinci, pemerintah mengalokasikan anggaran perubahan iklim sebesar Rp 72,4 triliun pada 2016. Kemudian, naik menjadi Rp 95,6 triliun pada 2017. Setahun kemudian alokasi anggaran kembali dinaikkan menjadi Rp 109,7 triliun. Lalu turun menjadi Rp 91 triliun pada 2019, dan menjadi Rp 79,6 triliun pada 2020.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan kebijakan perubahan iklim dilakukan dalam rangka menjalankan target nationally determined contribution. Tujuannya, untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.

Meski demikian, anggaran dari pemerintah ini hanya mencukupi 34% kebutuhan pembiayaan perubahan iklim yang diidentifikasikan mencapai Rp 3.461 triliun atau Rp 266 triliun per tahunnya. Artinya masih ada kekurangan sebesar Rp 176,4 triliun per tahun.

Oleh karena itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah mencari pendanaan dari sumber selain APBN. Salah satunya melalui kerja sama dengan Bank Dunia, yakni melalui skema Forest Carbon Partnership Facility (FCPF).

Dengan skema ini, Indonesia berpotensi mendapatkan pendanaan sebesar US$ 110 juta. Adapun kerja sama ini bertujuan untuk mencegah kerusakan hutan dan deforestasi terutama di Kalimantan Timur.

Pendanaan lainnya juga bersumber dari Bio Carbon Fund yang merupakan fasilitas multilateral. Dari skema tersebut, Indonesia berpotensi menerima dana hingga US$ 60 juta yang akan difokuskan untuk hutan di Provinsi Jambi.

Baru-baru ini, Indonesia juga mengantongi pendanaan dari Green Climate Fund atau CGF sebesar US$ 103,78 juta. Pendanaan ini diberikan lantaran Indonesia dianggap mampu mengurangi emisi setara 20,25 juta ton CO2 selama periode 2014 hingga 2016.

Menkeu menjelaskan bahwa pendanaan yang diterima Indonesia tersebut lebih besar dari yang diperoleh Brazil sebesar US$ 96,45 juta. Seperti diketahui, Brazil merupakan rumah dari hutan hujan tropis terluas di dunia, hutan Amazon.

Adapun pendanaan tersebut merupakan bagian dari skema kerja sama Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang didesain untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan menggunakan insentif keuangan.

Reporter: Agatha Olivia Victoria