Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia kembali mengalami deflasi pada Agustus 2020 sebesar 0,05% karena daya beli masyarakat yang masih lemah di tengah pandemi virus corona atau Covid-19. Dengan demikian, sudah dua kali berturut terjadi deflasi pada tahun ini setelah sebelumnya pada Juli 2020 terjadi deflasi sebesar 0,01%.
Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi berharap pukulan daya beli berturut ini tak akan terulang bulan depan. Alasannya, program pemulihan ekonomi dan pembukaan kembali aktivitas ekonomi telah dijalankan.
"Mestinya bisa mereda dengan adanya program pemulihan ekonomi nasional dan pembukaan sektor perekonomian secara bertahap," ujar Eric kepada Katadata.co.id, Selasa (1/9).
Menurutnya deflasi terjadi karena penurunan daya beli berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat, yang selama ini menjadi penopang kuat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Rendahnya tingkat konsumsi ini akhirnya berpangruh pada penurunan harga di sejumlah sektor.
Eric menilai tahun ini ancaman resesi tidak bisa dihindarkan, tetapi jika pada kuartal III 2020 pertumbuhan ekonomi mampu berbalik positif maka Indonesia punya peluang besar untuk keluar dari resesi tahun depan. Namun, untuk mencapai hal ini kuncinya adalah sesegera mungkin memulihkan daya beli masyarakat.
Untuk memulihkan daya beli masyarakat, pemerintah sudah memasukkan banyak insentif dalam program pemulihan ekonomi nasional. Dengan begitu, tinggal bagaimana mempercepat penyaluran dananya.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam menjelaskan deflasi atau inflasi yang rendah sudah diperkirakan sebagai akibat menurunnya permintaan. Di tengah pandemi corona saat ini, permintaan turun disebabkan oleh menurunnya daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat bawah.
Penurunan daya beli masyarakat bawah sudah dibantu dengan adanya berbagai bantuan pemerintah, namun hal ini tentu tidak cukup untuk mengembalikan konsumsi pada level normal. Sementara masyarakat menengah atas masih akan menahan konsumsi selama pandemi corona.
"Artinya, penurunan konsumsi selama masih ada pandemi adalah kondisi yang tidak terelakkan," ujar Piter kepada Katadata.co.id di waktu yang berlainan.
Ia menjelaskan meski ancaman resesi semakin tak terelakkan, namun ini bukan isu utama karena seluruh negara juga mengalaminya. Saat ini fokus utama adalah bagaimana mengatasi agar resesi tidak terlalu dalam, serta bagaimana cara untuk cepat bangkit usai pandemi corona.
Piter cukup optimistis terhadap arah perekonomian ke depan, sebab ia menilai saat ini perekonomian Indonesia sudah menunjukkan arah perbaikan. Dengan demikian, apabila wabah sudah usai perbaikan ekonomi bisa lebih cepat dilakukan.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan tren deflasi terjadi hampir sama di semua negara, karena pandemi corona memukul daya beli masyarakat secara global. Ia berharap ke depan daya beli masyarakat bisa pulih dengan cepat, mengingat pemerintah sudah membuat banyak kebijakan untuk mendorong hal tersebut.
"Saya kira kita semua menyadari Covid-19 menghantam seluruh lapisan masyarakat sehingga turunkan daya beli. Ke depan diharapkan daya beli masyarakat bisa pulih dengan cepat," ujar Suhariyanto dalam konferensi virtual.
Meski terjadi penurunan daya beli, Suhariyanto menilai suplai pasokan barang pada Agustus 2020 cukup baik. Maka dari itu, harga barang yang termasuk dalam kelompok harga bergejolak banyak turun seperti harga daging ayam ras, bawang merah, tomat, telur ayam ras, dan beberapa buah-buahan.
"Tetapi di sisi lain daya beli masih butuh waktu untuk kembali ke posisi normal," ujar dia.
Sementara sepanjang tahun ini BPS mencatat inflasi hanya mencapai 0,93% dan secara tahunan indeks harga konsumen pada Agustus 2020 masih mencatatkan inflasi sebesar 1,32%. Angka inflasi secara tahunan ini merupakan yang terendah sejak Mei 2020, di mana saat itu inflasi tercatat sebesar 1,2%.