Hasil survei yang digelar Badan Pusat Statistik merekam 82,85% pengusaha mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi Covid-19. Penurunan pendapatan paling banyak dialami usaha menengah kecil mencapai 84%, dibandingkan usaha menengah besar yang mencapai 82%.
"Perusahaan di sektor akomodasi dan makanan minuman paling terdampak pandemi Covid-19. Sebanyak 92,47% perusahaan pada sektor tersebut mengalami penurunan pendapatan," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Selasa (15/9).
Meski demikian, survei tersebut menemukan lebih banyak pengusaha besar atau UMB yang mengambil langkah pengurangan jumlah pegawai mencapai 46,64% dari total perusahaan yang disurvei. Persentase ini lebih banyak dibandingkan UMK yang mencapai 33,23%.
Total terdapat 35,56% perusahaan yang memilih mengurangi pegawai. Sementara 62,29% perusahaan yang disurvei memilih tidak mengurangi atau menambah jumlah pegawai. Hanya 2,15% perusahaan yang masih menambah jumlah pegawai.
Perusahaan yang memilih memangkas jumlah pegawai di tengah pandemi paling banyak berasal dari sektor industri pengolahan. Disusul sektor kontruksi serta sektor akomodasi dan makanan minuman. Lebih dari 50% perusahaan-perusahaan pada ketiga sektor itu memilih untuk memangkas jumlah pegawai.
Di sisi lain, menurut Suhariyanto, banyak perusahaan yang menemupuh jalan lain untuk bertahan di tengah pandemi tanpa harus memangkas karyawan. Salah satunya, dengan mengurangi jam kerja.
Langkah lain yang dilakukan perusahaan untuk bertahan adalah mendorong pemasaran online dan diversifikasi usaha.
Survei juga mencatat terdapat 42% pelaku usaha yang hanya mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah selama tiga bulan ke depan sejak Juli 2020. Sedangkan 58% pelaku usaha menyatakan mampu bertahan lebih dari tiga bulan meski tanpa bantuan atau perubahan bisnis.
"Porsi 42% cukup besar sehingga ini perlu menjadi catatan agar dari berbagai program yang dirancang pemerintah," katanya.
Ia menjelaskan para pengusaha besar mengharapkan bantuan modal usaha dan keringanan tagihan listrik. Sementara pengusaha kecil mengharapkan relaksasi atau penundaan pembayaran pinjaman dan keringanan tagihan listrik.
Selain itu, para pengusaha ini juga berharap bantuan dalam bentuk penundaan pembayaran pajak dan kemudahan administrasi pinjaman.
BPS juga mencatat 3.027 pelaku usaha hingga kini tak beroperasi seiring kebijakan pembatasan fisik dan PSBB. Jumlah ini mencapai 8,57% dari total 34.559 pelaku usaha yang disurvei.
Dari jumlah tersebut, 10,1% merupakan usaha menengah kecil dan 5% merupakan usaha menengah besar ."Namun 59,8% UMK dan 49,4% UMB masih tetap beroperasi normal di tengah pandemi," katanya.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun sebelumnya menilai pemerintah terlambat menggelontorkan stimulus. Sudah banyak UMKM yang bangkrut akibat pandemi. "Karena sudah jatuh, omzet menurun, karyawan juga sudah dipulangkan, dan lainnya," kata Ikhsan dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Ikhsan pun menuturkan bahwa UMKM mau tak mau harus bangkit sendiri sebelum mendapat bantuan dari pemerintah. Apalagi, lembaga keuangan seperti pegadaian atau bank biasanya hanya memberikan pinjaman dana jika usaha memiliki prospek baik.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mencatat realisasi stimulus untuk Usaha Mikro Kecil Menengah hingga Agustus baru mencapai Rp 52,09 triliun atau 36,6% dari pagu anggaran Rp 123,47 triliun. Ini disebabkan oleh pencairan yang lambat di awal.
"Bulan Juli hanya terserap Rp 1 triliun. Tapi, Agustus ini realisasi bertambah hampir Rp 21 triliun,” kata Kunta dikutip dari .