Berakhirnya Rekor Semu Cadangan Devisa yang Ditopang Tumpukan Utang

123RF.com/Bakhtiar Zein
Ilustrasi. Bank Indonesia menyebut posisi cadangan devisa pada September masih tinggi meski menurun dibandingkan bulan sebelumnya.
7/10/2020, 13.09 WIB

Kenaikan cadangan devisa yang terjadi selama lima bulan berturut-turut hingga dua kali mencetak rekor, akhirnya terhenti pada bulan September. Bank Indonesia mencatat cadangan devisa turun dari posisi Agustus sebesar US$ 137 miliar menjadi US$ 135,2 miliar.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menjelaskan cadangan devisa pada September tetap tinggi meskipun menurun dibanding bulan sebelumnya. Posisi pada September setara dengan pembiayaan 9,5 bulan impor atau 9,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

"Cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar Onny dalam keterangan resmi, Rabu (7/10). 

Penurunan cadangan devisa pada September dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Meski demikian, menurut Onny, cadangan devisa ke depan tetap memadai didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga. 

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan kenaikan cadangan devisa selama lima bulan beruntun serta rekor pada Juli dan Agustus ditopang oleh penerbitan utang pemerintah. Kinerja sektor riil masih lemah, sedangkan arus modal asing pada instrumen portofolio masih mencatatkan arus kas keluar atau outflow.

"Kemarin pemerintah gencar menerbitkan global bond, termasuk samurai bond. Di penghujung tahun ini sepertinya tidak ada lagi rencana penerbitan global bond," ujar David kepada Katadata.id, Rabu (7/10).

Pemerintah, antara lain, menerbitkan global bonds sebesar US$ 4,3 miliar pada April, global sukuk US$2,5 miliar pada Juni, dan Samurai Bonds sebesar US$ 100 miliar pada Juli. Direktur  Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman pada Juli lalu mengatakan, pemerintah tak memiliki rencana untuk menerbitkan surat utang global setelah penerbitan samurai bonds.

Meski demikian, pemerintah akan mendorong pinjaman proyek. "Kami akan banyak menggunakan pinjaman proyek di semester II," ujarnya.

Dalam dokumen APBN Kita,  pemerintah hingga Agustus telah menarik pinjaman luar negeri mencapai Rp 72 triliun. Pinjaman, antata lain ditaik dari bank Dunia terkait proyek geothermal dan energi bersih sebesar US$ 150 juta dan US$ 40 juta, Unicredit Bank Austria AG sebesar 14,88 juta euro, pemerintah Jepang sebesar 50 miliar yen. Ketiga pinjaman tersebut khusus ditarik pada Agustus. 

Adapula pinjaman yang ditarik sepanjang semester I 2020 yakni dari  Bank Dunia US$ 300 juta, Bank Pembangunan Asia  US$ 500 juta, dan Bank Pembangunan Perancis 100 juta Euro. dan Pembangunan Jerman 500 juta Euro, dan Japan International Cooperation Agency 31.800 juta yen Jepang.

Total utang pemerintah pada Agustus 2002 melonjak 19,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai  Rp 5.594,93 triliun.

Kenaikan pada utang luar negeri yang terjadi di tengah penurunan kebutuhan dolar AS membuat cadangan devisa membumbung. Pada tahun ini, kebutuhan dolar untuk menopang perekonomian turun seiring kinerja perdagangan luar negeri, terutama impor yang anjlok.

Total impor sepanjang Januari-Agustus 2020 juga tercatat turun 18,06% menjadi US$ 92,11 miliar, sedangkan total ekspor  turun 6,51% menjadi US$ 103,61 miliar. Neraca perdagangan sepanjang tahun ini surplus mencapai US$ 11,05 miliar.

Potensi Modal Asing Keluar dan Nasib Rupiah

David menjelaskan cadangan devisa pada tiga bulan terakhir tahun ini akan dipengaruhi oleh arus modal asing pada instrumen portofolio dan kinerja ekspor impor. Namun, modal asing masih berpotensi keluar dari instrumen portofolio seiring ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi. 

"Masih ada ketidakpastian terkait Covid-19 dan pemilu di AS," katanya. 

Ia pun memperkirakan cadangan devisa hingga akhir tahun ini akan berada pada rentang US$ 130 miliar hingga US$ 136 miliar. Cadangan devisa tersebut dinilai cukup untuk membiayai kegiatan perekonomian maupun stabilisasi kurs jika terjadi gejolak. " Tapi kemungkinan gejolaknya tidak akan terlalu tinggi, kecuali memang ada kabar baru seperti kemarin saat Trump positif Covid-19," katanya. 

David memperkirakan rupiah hingga akhir tahun ini akan bergerak pada rentang Rp 14.700 hingga Rp 15.000 per dolar AS. "Kurs saat ini sudah mencerminkan fundamental ekonomi," katanya.  

Nilai Tukar Rupiah Melemah (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi menilai penurunan cadangan devisa dipengaruhi oleh derasnya aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan RI belakangan ini. "Sehingga BI menggunakan cadangan devisa untuk menstabilisasi nilai tukar rupiah," kata Eric kepada Katadata.co.id, Rabu (7/10).

Kondisi eksternal masih belum menentu karena wabah covid belum terkendali. Dengan demikian pasar keuangan global masih sangat volatil. Pandemi juga masih belum terkendali dan ekonomi sedang dalam keadaan resesi. Ini mempengaruhi keputusan sebagian investor asing untuk memindahkan dana keluar dari Indonesia. 

BI sebelumnya mencatat terdapat dana asing yang keluar dari pasar keuangan domestik selama empat pekan berturut-turut dalam bulan September.  Pada pekan pertama September, tercatat dana asing kabur Rp 2,56 triliun. Kemudian Rp 500 miliar pada pekan kedua, Rp 4,64 triliun pada pekan ketiga, dan Rp 620 miliar pada pekan keempat.

Secara keseluruhan tahun hingga 24 September 2020, tercatat aliran modal asing keluar secara bersih alias nett outflow Rp 167,44 triliun. Adapun nilai tukar rupiah pada kurs tengah BI mencatatkan pelemahan sebesar 2,07% selama bulan lalu.

Kendati demikian, Eric menilai masih ada potensi aliran modal asing yang deras masuk ke pasar domestik hingga akhir tahun ini.  Biasanya, investor asing akan masuk kembali ketika koreksi harga aset sudah cukup banyak.

Selain itu, lanjut ia, likuiditas global dolar AS juga banyak karena berbagai bank sentral di banyak negara ekonomi maju terutama AS, Uni Eropa, dan Jepang menerapkan suku bunga rendah dan injeksi likuiditas.  "Dana-dana ini sebagian akan masuk ke emerging markets, termasuk ke Indonesia ketika kondisi ekonomi negara emerging membaik," kata dia.

Eric pun memperkirakan cadangan devisa masih bisa naik ke rentangUS$ 136 miliar - US$ 140 miliar per akhir tahun jika tidak ada tekanan signifikan terhadap rupiah. Kurs rupiah pun diperkirakan akan menguat ke kisaran Rp 14.500 per dolar AS pada penghujung tahun ini.

Reporter: Agatha Olivia Victoria