Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah memperingkatkan pandemi Covid-19 dapat memicu krisis utang di negara-negara miskin. Kedua lembaga tersebut pun mendesak para kreditor untuk memberikan penundaan hingga pembatalan pembayaran utang. Namun, restrukturisasi dinilai lembaga pemeringkat utang global dapat berdampak negatif bagi akses pasar pembiayaan.
Presiden Bank Dunia David Malpass menjelaskan, negara-negara miskin membutuhkan bantuan permanen untuk mengurangi beban utang dan menarik investasi. Pihaknya pun telah meminta negara-negara G20 untuk memperpanjang keringanan utang kepada negara-negara miskin hingga akhir 2021.
"Yang terpenting, setiap pemerintah negara G20 harus mendorong semua kreditor swasta di bawah yuridiksi mereka untuk berpartisipasi pada program DSSI," kata Malpass dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2020 pada pekan lalu, dikutip dari situs resmi Bank Dunia.
Debt Service Suspension Initiative atau DSSI adalah insiatif yang disepakati negara-negara G20 pada April lalu untuk membantu negara-negara termiskin mengelola dampak pandemi. Melalui inisiatif ini, mereka berkomitmen menangguhkan pembayaran utang bilateral negara-negara miskin hingga akhir 2020.
Dalam pertemuan terakhir, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 sepakat untuk memperpanjang DSSI selama enam bulan lagi atau hingga Juni 2021. Ini jauh dari harapan banyak pihak yang meminta G20 memberikan tambahan perpannjang utang hingga setahun penuh hingga menghapus sebagian utang.
Untuk menerima keringanan DSSI, negara-negara yang mengajukan diharuskan membuat kesepakatan dengan IMF. Kesepakatan dapat serupa program reguler atau fasilitas darurat jangka pendek.
Negara-negara itu harus berkomitmen untuk menggunakan segala sumber daya untuk meningkatkan pengeluaran sosial, kesehatan, atau dukungan pada ekonomi. Penerima manfaat juga diminta mengungkapkan seluruh utang sektor publik dan instrumen serupa utang yang dimiliki mereka.
Penundaan pembayaran utang tersebut dapat diperoleh seluruh negara yang tergabung dalam Asosiasi Pembangunan Internasional dan semua negara kurang berkembang yang saat ini masih melakukan pembayaran utang kepada IMF dan Bank Dunia. Totalnya mencapai 73 negara, termasuk Angola.
Mengutip Nikkei, ke-73 negara tersebut berutang US$ 744 miliar kepada Bank Dunia dan investor asing lainnya. Pinjaman resmi pemerintah dari anggota G-20 berjumlah US$ 178 miliar, 63% di antaranya berasal dari Tiongkok. Negara-negara tertentu seperti Republik Kongo dan Djibouti bahkan mencatat 50% hingga 60% dari total utang luar negerinya berasal dari Tiongkok.
Bank Dunia memperkirakan telah terdapat 43 negara yang mendaftar untuk memperoleh penundaan pembayaran utang dengan nilai mencapai US$ 5 miliar atau sekitar Rp 29,4 triliun. Namun, banyak negara yang memiliki utang besar seperti Bangladesh, Kamboja, dan Kenya belum mengajukan permohonan.
Beberapa negara yang mengajukan penundaan utang, seperti Zambia dan Mozambik, menghadapi utang yang setara dengan lebih dari 100% produk domestik bruto mereka. Bank Dunia menganggap 33 dari 73 negara berada dalam kesulitan utang luar negeri atau berisiko tinggi gagal bayar.
Malpass mengkritik keterlibatan Tiongkok yang 'setengah-setengah' dalam DSSI. Beberapa kreditor Tiongkok telah menjadwal ulang pembayaran pokok negara miskin, tetapi utang yang ditangguhkan masih dikenakan bunga sehingga akan menambah negara-negara miskin.
Utang telah membebani sistem kesehatan negara-negara miskin, terutama dalam situasi pandemi Covid-19. Organisasi Amal memperkirakan sebanyak 121 negara berpendapatan menengah bawah menghabiskan anggaran lebih banyak untuk membayar utang luar negeri dibandingkan sistem kesehatan.
Risiko Akses Pasar
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva pekan lalu juga meminta Tiongkok dan kreditor swasta untuk berpartisipasi menghapus utang negara-negara miskin. Kesepakatan mereka adalah kunci keberhasilan restrukturisasi utang. Ia mengeluhkan minimnya partisipasi kreditor swasta dalam program penangguhan pembayaran utang untuk negara-negara miskin. Hanya tiga dari 44 negara yang mendaftar untuk program penundaan utang yang menjangkau kreditor swasta.
"Apa yang kami lihat adalah sektor swasta menghindar dan negara-negara itu sendiri enggan meminta kepada sektor swasta untuk memberikan keringanan utang karena kekhawatiran bahwa hal itu dapat mengikis akses pasar mereka di masa depan," kata Georgieva dikutip dari Reuters.
Lembaga pemeringkat kredit S&P Global, Moody's dan Fitch telah memperingatkan bahwa jika negara-negara menangguhkan atau menunda pembayaran utang ke sektor swasta, utang mereka hampir pasti digolongkan sebagai restrukturisasi dan gagal bayar.
Restrukturisasi itu rumit dan biasanya memakan waktu lebih lama daripada yang dialami negara-negara yang terkena bencana. Ini juga berarti negara-negara miskin yang berjuang untuk mendapatkan akses pasar internasional selama dekade terakhir harus bersiap kehilangan.
Moody's mencatat negara-negara miskin menghadapi kesenjangan pendanaan gabungan sebesar US$ 40 miliar tahun ini. Institute of International Finance memperkirakan bahwa utang luar negeri negara-negara DSSI telah berlipat ganda sejak 2010 menjadi lebih dari US$ 750 miliar dan sekarang rata-rata hampir 50% dari PDB, tertinggi untuk tahap perkembangan mereka.
"Sepertinya banyak yang tidak ingin menjadi bagian DSSI tahun ini karena akan membahayakan akses pasar mereka," kata Kevin Daly, analis dari Aberdeen.
Posisi dan Risiko bagi Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, semua negara mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun, posisi fiskal setiap negara yang berbeda menjadi kekuatan dan ruang bagi negara-negara tersebut dalam menghadapi dampak Covid-19.
"Negara maju memiliki utang bahkan mencapai 100% terhadap PDB, Jepang bahkan di atas 200% PDB karena memiliki sumber domestik yang kuat. Negara miskin ini walaupun banyak yang di bawah 100%, kemampuannya jauh berbeda karena mereka menggantungkan hampir sepenuhnya pendanaan dari luar," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita.
Kelompok G20, menurut dia, telah memberikan penundaan pembayaran utang atau DSSI kepada negara-negara miskin yang memiliki kondisi fiskal lemah. Negara-negara yang memperoleh keringanan tersebut berpendapatan di bawah US$ 1.000 per kapita. "Kalau membayar utang, mereka tidak dapat melakukan prioritas belanja. Maka G20 memberikan inisiatif penundaan pembayaran," katanya.
Analis di Indonesia Bond Pricing Agency Roby Rushandie menjelaskan, pengaruh kesepakatan G20 terkait restrukturisasi utang negara miskin terhadap Indonesia relatif minim. Ia menduga pemerintah tak memiliki banyak piutang ke kelompok negara termiskin dunia. Namun, harus dipelajari kemungkinan jika terdapat korporasi yang meminjamkan dananya ke negara-negara tersebut.
"Apa memang Indonesia adalah kreditor harus dilihat lagi dan apakah ada investor korporasi kita yang memberikan utang. Kalau iya, tentu pemerintah harus membantu membujuk memberikan restrukturisasi seperti kesepakatan G20," kata dia.
Sementara dampak krisis utang negara-negara miskin terhadap akses pasar utang Indonesia akan sangat terbatas. "Kondisi indikator makro Indonesia saat ini secara umum juga sangat baik. Porsi utang masih relatif aman walaupun menningkat," katanya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman juga menjelaskan posisi utang Indonesia masih sangat baik, terukur, dan terjaga. Meski demikian, ia memastikan pemerintah akan mencari skema-skema pembiayaan yang inovatif pada tahun depan guna menekan beban biaya utang.
"Selain juga mendapat dukungan dari BI, kita sudah mulai melakukan konversi utang dengan mata uang lebih menarik sehingga menurunkan beban utang," katanya.
Bank Dunia pada pekan lalu merilis laporan International Debt Statistics (IDS). Dalam laporan tersebut, Indonesia masuk ke dalam 10 negara berpendapatan menengah dan bawah dengan utang luar negeri terbesar. Namun, posisi utang yang digunakan adalah pada 2019,, sedangkan Indonesia sejak Juli lalu telah masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan per kapita di atas US$ 4.046 berdasarkan kategori yang dibuat Bank Dunia,