Nilai tukar rupiah pada perdagangan di pasar spot hingga siang ini (9/11) menguat 1,06% ke posisi Rp 14.060 per dolar AS terbawa sentimen kemenangan Joe Biden atas pemilihan presiden Amerika Serikat. Meski rupiah melesat hampir 600 poin sejak pekan lalu, Bank Indonesia tak akan mengintervensi penguatan rupiah.
Rupiah memimpin penguatan terhadap dolar AS di antara mata uang negara-negara Asia lainnya. Menyusul rupiah, won Korea Selatan menguat 0,56%, yuan Tiongkok 0,52%, ringgit Malaysia 0,44%, rupee India 0,38%, dolar Singapura 0,38%, dan peso Filipina 0,38%. Sementara dolar Hong Kong stagnan dan yen Jepang menguat 0,09%.
Rupiah telah menguat lebih dari 400 poin pada perdagangan di pasar spot sepanjang pekan lalu. Namun, BI menilai rupiah saat ini masih di bawah nilai fundamentalnya atau undervalued.
"Oleh karena itu, BI tidak akan menahan penguatan rupiah, rupiah akan dibiarkan menguat sesuai dengan mekanisme pasar," ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada Katadata.co.id, Senin (9/11).
Nanang menjelaskan, rupiah yang masih undervalued atau terlalu murah tercemin dari neraca perdagangan Indonesia yang membukukan surplus dalam beberapa bulan terakhir seiring peningkatan ekspor di tengah impor yang masih lemah. Secara keseluruhan, neraca transaksi berjalan pada kuartal III 2020 akan mencatatkan surplus setelah defisit mencapai US$ 2,9 miliar pada kuartal II 2020.
Selain itu, inflasi pada September hanya mencapai 0,07% atau 1,44% secara tahun kalender atau year to date dan diperkirakan berada di bawah 2% untuk sepanjang 2019.
"Rupiah juga masih berpotensi menguat jika memperhitungkan perbedaan yield dengan negara-negara lain," ujar Nanang.
Nanang menjelaskan, yield SBN tenor 10 tahun saat ini sudah menurun ke posisi 6,20%. Namun, imbal hasil tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan rerata imbal hasil obligasi negara peer Asia. Oleh karena itu, tak heran investor kini mulai kembali memburu SBN.
Dalam dua pekan terakhir, menurut Nanang, investor asing telah membeli SBN mencapai Rp 6,9 triliun. Masuknya kembali investor asing, sejalan dengan sentimen positif dari hasil pilpres AS yang memenangkan Joe Biden.
"Kebijakan Biden diperkirakan akan lebih predictable dan tidak provokatif ke negara lain termasuk ke Tiongkok, sehingga akan mengurangi tensi perang dagang AS-China. Dampaknya akan dirasakan oleh negara-negara Asia lainnya," ujarnya.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan kemenangan Biden disambut positif oleh aset-aset berisiko di Asia pagi ini. Indeks saham Asia terlihat menguat dan nilai tukar emerging market terlihat menguat terhadap dolar AS, sementara indeks dolar AS tertekan.
"Pasar berekspektasi kebijakan Biden akan lebih ramah terhadap negara-negara lain dibandingkan pendahulunya. Ini bisa membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di negara emerging market," ujar Ariston.
Kandidat Partai Demokrat Joe Biden mengunci kemenangan dalam pemilihan presiden AS pada Sabtu (7/11). Kemenangan Biden diperoleh setelah merebut suara di Pennsylvania dan Nevada. Adapun total perolehan suara elektoral sementara bagi Biden mencapai 290, lebih tinggi dari batas 270 suara untuk memenangkan Pilpres AS.
Biden pun masih berpeluang menambah 16 suara elektoral dari Georgia dan tengah membuntuti Trump di North Carolina yang memiliki 15 suara elektoral. Selain unggul dari perolehan suara elektoral, Biden dan Harris juga mendapat jumlah popular vote yang lebih besar dari Trump. Berdasarkan hasil sementara, jumlah popular vote Biden mencapai 75 juta, sedangkan Trump 70,6 juta suara.
Pasangan Biden-Harris akan dilantik pada 20 Januari 2021 dan memimpin AS hingga 2025. Saat berita ini ditulis, indeks dolar AS melemah 0,04% ke level 92.19.