Upaya penghindaran pajak atau tax avoidance hingga kini masih membayangi penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membutuhkan perlakuan pajak yang konsisten pada setiap tipe usaha untuk menekan bolongnya penerimaan pajak.
Ia menjelaskan, konsistensi dalam perlakuan pajak terutama harus diberikan kepada perusahaan konglomerasi. "Karena sering di dalam konglomerasi ada transaksi antar unit usaha di dalam wadah konglomerat tersebut," kata Sri Mulyani dalam acara Pandemi Dan Keberlanjutan Reformasi Pajak, Selasa (8/12).
Sri Mulyani mengatakan upaya tax avoidance hingga tax evasion menyebabkan tax gap atau kekurangan penerimaan pajak cukup besar. Maka dari itu, ia menekankan, reformasi pajak akan terus dilakukan.
Apalagi, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melonjak cukup hebat akibat pandemi Covid-19 dan harus kembali disehatkan. "Salah satu langkah menyehatkan APBN yaitu dengan memulihkan penerimaan pajak," ujar dia.
Pemulihan penerimaan pajak dibutuhkan untuk membiayai kebutuhan belanja negara yang besar. Anggaran dibutuhkan untuk membangun sumber daya manusia, kesehatan, pendidikan, serta infrastruktur.
elain itu, terdapat beberapa sektor yang perlu untuk dipulihkan produktivitasnya akibat pandemi. Oleh karena itu, Sri Mulyani menilai kebutuhan untuk membangun fondasi ekonomi RI seharusnya berasal dari penerimaan negara, terutama pajak.
Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis Ruben Hutabarat mengatakan sebagian besar wajib pajak setuju bahwa praktik tax avoidance dan tax evasion merupakan tindak kriminal dan tidak adil terhadap wajib pajak lain. Berdasarkan risetnya, 90% responden setuju bahwa praktik tax avoidance merupakan perbuatan tidak adil bagi WP lain.
Sementara 93% responden setuju bahwa tax evasion merupakan tindakan kriminal dan tidak adil bagi WP lain. "Sedangkan 78% responden tidak setuju untuk mengurangi jumlah atau meminimalkan jumlah pajak," kata Ruben dalam kesempatan yang sama.
Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sempat mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada masyarakat. Penerbitan SP2DK ini merupakan salah satu upaya mengerek kenaikan pajak yang anjlok akibat pandemi corona.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan SP2DK ramai diterbitkan pada akhir tahun ini. SP2DK tersebut mempertanyakan pemenuhan kewajiban perpajakan dari wajib pajak di tahun-tahun sebelum terjadi pandemi Covid-19.
"SP2DK menjadi semacam 'langkah luar biasa' untuk memacu realisasi penerimaan pajak di akhir tahun, yang dulu biasanya dilakukan dengan praktik 'mengijon' pajak," kata Prianto dalam siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Senin (30/11).
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan penerbitan SP2DK merupakan hal rutin. "Jadi bukan hanya diterbitkan pada akhir tahun, tapi juga pada awal tahun atau tengah tahun," kata Hestu kepada Katadata.co.id, Senin (30/11).
Realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2020 lalu tercatat Rp 826,94 triliun, merosot 18,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 1.018,44 triliun. Penurunan realisasi ini bahkan lebih dalam dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya yang sebesar 16,9%.