Perkembangan teknologi mendorong transaksi digital, termasuk di sektor keuangan semakin meluas. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan transaksi digital perlu diatur untuk mencegah berbagai potensi risiko.
"Setidaknya ada empat alasan mengapa transaksi digital ini perlu diatur," kata Menkeu Sri Mulyani dalam acara International Conference on Digital Transformation in Customs seperti dikutip dari Antara, Selasa (16/3).
Pertama, agar layanan transaksi pembayaran barang digital di Indonesia terekam dengan baik. Sri Mulyani menjelaskan, pengenaan bea masuk dan kewajiban pengusaha melaporkan transaksi barang digital akan mendorong terciptanya statistik perdagangan lebih akurat dan bermanfaat bagi proses pengambilan kebijakan selanjutnya.
Kedua, terdapat risiko penyalahgunaan. Ia mencontohkan, teknologi printing 3D yang akhir-akhir ini semakin populer dan memungkinkan penggunanya untuk memproduksi barang-barang berpotensi membahayakan keselamatan umum. Untuk itu, hal ini perlu diatur pemerintah,
"Misalnya seperti senjata api dan bahan peledak hanya dengan cetak biru itu bisa ditransmisikan secara digital," ujar Menkeu Sri Mulyani.
Transaksi digital, menurut dia, juga berpotensi memudahkan penggelapan pajak, pelanggaran hak kekayaan intelektual, hingga transaksi untuk memfasilitasi kejahatan terorganisasi di bidang pencucian uang.
Ketiga, menjamin keseimbangan atau level of playing field antara pedagang konvensional dan digital. Sri Mulyani mengatakan, banyak keluhan dari para pedagang konvensional kepada dirinya. Mereka menganggap bahwa terdapat kebijakan pengenaan pajak tidak adil antara mereka dengan pedagang di platform daring.
"Ini tantangan yang perlu ditangani agar kami dapat menciptakan level of playing field yang adil bagi para pemain. Film impor, video game, dan produk digital lainnya juga dituntut memiliki perlakuan yang sama seperti buku fisik,” jelas Sri Mulyani.
Keempat, menghindari kerugian negara. Hal ini, menurut Sri Mulyani, dilakuka melalui pengenaan bea masuk atas barang digital yang dikirim melalui transaksi elektronik adalah untuk menghindari potensi kerugian bagi pendapatan negara.
"Ekonomi dan transaksi digital akan mengikis basis pajak konvensional sehingga pemerintah harus mampu menyesuaikan diri dengan tren baru ini dan menetapkan peran yang sama," katanya.
Berdasarkan studi Facebook dan Bain and Company, jumlah konsumen digital di Indonesia diperkirakan naik dari 119 juta pada 2019 menjadi 137 juta tahun lalu. Persentasenya pun melonjak dari 58 % menjadi 68 % terhadap total populasi.
Sedangkan jumlah konsumen digital di Asia Tenggara tertera pada Databoks di bawah ini:
Bank Indonesia mencatat, 15 bank di Indonesia kini gencar beralih ke digital saat pandemi Covid-19. "Pandemi mempercepat digitalisasi ekonomi dan keuangan. Ini luar biasa,” Gubernur BI Perry Warjiyo bulan lalu.
BI memperkirakan, transaksi layanan digital bank naik dari Rp 27.036 triliun tahun lalu menjadi Rp 32.206 triliun pada 2021. “Ini jauh lebih tinggi dari nominal produk domestik bruto (PDB) Indonesia kita,” kata Perry.
Transaksi layanan digital bank itu terdorong penggunaan uang elektronik. BI memperkirakan, transaksi uang elektronik naik 32,3% dari Rp 201 triliun tahun lalu menjadi Rp 266 triliun pada 2021.