Lembaga Internasional Puji Sinergi Pemulihan Ekonomi Pemerintah dan BI

Arief Kamaludin | Katadata
Sinergi kebijakan antara pemerintah, bank sentral, dan otoritas terkait akan mempercepat pemulihan ekonomi.
30/3/2021, 17.10 WIB

Berjalannya sinergi kebijakan antara pemerintah, bank sentral, dan otoritas terkait akan mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia yang terperosok selama pandemi Covid-19. Berbagai lembaga internasional pun mengapresiasi sinergi kebijakan tersebut, di antaranya Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Lembaga yang bermarkas di Paris ini memuji pemerintah Indonesia yang menangguhkan aturan fiskal di tengah pandemi tanpa membahayakan kesinambungan publik. Bank Indonesia (BI) juga mendapat penghargaan lantaran berhasil membangun kredibilitas sebagai lembaga independen yang mengambil sikap akomodatif tanpa menimbulkan kekhawatiran inflasi.

Deputi Gubernur BI Sugeng mengatakan, sinergi kebijakan nasional akan mempercepat pemulihan ekonomi. Di samping pemulihan ekonomi akan terdorong dari perbaikan ekonomi global dan keberhasilan program vaksinasi. "Dengan sinergi yang dilakukan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berada di antara 4,5%-5,5%," kata Sugeng dalam acara Pelatihan Wartawan BI kuartal I 2021, pekan lalu.

Dampak signifikan dari sinergi ini terlihat dari kuartal III 2020. Pada periode tersebut, perekonomian minus 3,49% atau berhasil naik dari negatif 5,32% pada kuartal sebelumnya. Kemudian berangsur naik menjadi kontraksi 0,4% pada triwulan IV 2020.

BI membuat kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 150 basis poin sejak 2020 hingga saat ini guna mendorong pemulihan ekonomi. Saat ini, bunga acuan berada di level 3,5%, terendah sepanjang sejarah sejak 2013.



Nilai tukar rupiah hingga kini dapat dipertahankan stabil setelah pada tahun lalu sempat terguncang. Meski terdepresiasi 2,6% dibanding level akhir 2020, volatilitas kurs Garuda tercatat sebesar 8,08% hingga 17 Maret 2021, lebih rendah dibandingkan dengan volatilitas tahun lalu yakni 15,9%.

"BI akan memperkuat kebijakan nilai tukar rupiah di pasar melalui triple intervention agar rupiah sejalan dengan fundamentalnya dan mekanisme pasar," ujar Sugeng.

Inflasi tetap rendah yakni 0,1% secara bulanan dan 1,38% secara tahunan pada Februari 2021, sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang memadai. Inflasi pada keseluruhan tahun ini diperkirakan tetap terkendali dalam sasaran 2-4%.

Pada kebijakan makroprudensial atau pengawasan terhadap sistem keuangan, BI mengarahkan akselerasi pertumbuhan kredit dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Salah satu kebijakan makroprudensial akomodatif yang diberikan yakni pelonggaran ketentuan uang muka kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor dan semua properti menjadi 0%, serta menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden.

Relaksasi tersebut tentunya akan semakin bisa mendorong permintaan kredit ditambah adanya stimulus pemerintah berupa pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil baru dan pajak pertambahan nilai (PPN) pembelian hunian.

Terbaru, bank sentral memperkuat kebijakan rasio intermediasi makroprudensial (RIM/RIM Syariah) dengan memasukkan wesel ekspor sebagai komponen pembiayaan dan memberlakukan secara bertahap ketentuan disinsentif berupa Giro RIM/RIMS. Transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan secara lebih rinci juga akan diperkuat, berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait.

Sugeng menuturkan bahwa pihaknya bersama pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan akan bertemu dengan pengusaha dan perbankan dalam beberapa waktu dekat ini. "Pertemuan untuk membahas peningkatan kredit dan pembiayaan serta aktivitas usaha termasuk ekspor di sektor prioritas," katanya.

Pertumbuhan kredit pada tahun ini diharapkan bisa terakselerasi hingga 5-7%, setelah terkontraksi 2,41% pada tahun lalu. Apalagi, bank sentral telah menambah likuiditas atau quantitative easing di perbankan sebesar Rp 776,87 triliun, setara dengan 5,03% dari produk domestik bruto (PDB). Kucuran dana tersebut terdiri dari Rp 726,57 triliun pada tahun 2020 dan Rp 50,29 triliun pada tahun 2021 per 16 Maret.

Tak hanya mendorong pertumbuhan kredit, BI turut bersinergi menjadi pembeli siaga surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. Langkah ini untuk mendukung pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 yang kemungkinan membutuhkan dana Rp 699,43 triliun.



Pembelian SBN oleh otoritas moneter di pasar perdana hingga 16 Maret 2021 sebesar Rp 65,03 triliun terdiri dari RP 22,9 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp 42,13 triliun melalui greenshoe option (GSO).

Seluruh kebijakan bank sentral tersebut masuk dalam paket kebijakan terpadu Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Selain BI, anggota KSSK lainnya seperti pemerintah, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan turut bersinergi mengeluarkan berbagai kebijakan pendorong pemulihan ekonomi. Di antaranyaperpanjangan sejumlah insentif perpajakan, perpanjangan restrukturisasi kredit, hingga relaksasi denda keterlambatan pembayaran iuran penjaminan simpanan.

Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menjelaskan bahwa tugas utama BI di tengah pandemi sebenarnya menjaga stabilitas perekonomian di pasar keuangan, terutama keseimbangan nilai tukar rupiah. "Upaya tersebut akan bisa membatasi perekonomian agar tidak makin terpuruk," ujar Josua dalam kesempatan yang sama.

Jika rupiah tidak stabil, berbagai risiko bisa terjadi seperti pembengkakan biaya produksi dan menekan kinerja suatu perusahaan terutama yang memakai bahan baku impor. Hal tersebut pernah dialami RI pada 1998 silam.

Kendati demikian, berbagai kebijakan luar biasa memang harus dilakukan oleh seluruh negara dalam memerangi virus corona. Maka dari itu, otoritas moneter pun tak hanya menjaga stabilitas perekonomian saat ini, tapi turut membantu mendorong pemulihan ekonomi.

Josua mengatakan bahwa hal tersebut terjadi di seluruh negara dan menjadi dasar bank sentral untuk membeli SBN di pasar perdana. "Ini merupakan kontribusi besar agar defisit anggaran tetap terjaga di level aman," katanya.

Reporter: Agatha Olivia Victoria