Kementerian Keuangan berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai. Wacana tersebut merupakan bagian dari rancangan undang-undang (RUU) ketentuan umum perpajakan dan tata cara perpajakan (KUP) yang masuk dalam prolegnas prioritas tahun ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, rencana kenaikan PPN barang dan jasa sudah diatur di dalam RUU KUP, termasuk pengaturan pajak penghasilan (PPh) pribadi dan badan, pajak penjualan barang mewah (PPnBM), cukai, pajak karbon, dan pengampunan pajak atau tax amnesty.
Presiden pun sudah berkirim surat dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta pembahasan rancangan aturan tersebut.
"Hasilnya kita tunggu pembahasan dengan DPR," ujar Airlangga dalam acara Halalbihalal dan Diskusi Virtual Bersama Para Wartawan, Rabu (19/5).
Dia menegaskan bahwa pemerintah akan memperhatikan situasi perekonomian nasional dalam merumuskan kebijakan. Selain PPN, akan diatur pula pajak penjualan dalam RUU itu.
Pengaturan pajak penjualan, menurut dia, akan mencakup sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa. Pajak tersebut akan diberlakukan pada waktu yang tepat dan skenarionya akan dibuat lebih luas. "Artinya tidak kaku seperti yang selama ini diberlakukan," katanya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengkaji dua skema yang akan dipakai dalam menentukan kenaikan tarif tersebut. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor menyampaikan dua skema kenaikan tarif PPN yang kemungkinan diadopsi yakni single atau multi tarif. "Secara teoritis begitu, semua masih dalam kajian," kata Neilmaldrin kepada Katadata.co.id, Selasa (11/5).
Tarif tunggal merupakan penerapan satu tarif PPN yang berlaku untuk semua objek PPN. Bila menggunakan skema ini, ketentuan tarif PPN berada di rentang 5%-15%, sesuai Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). "Tetapi masih dalam pembahasan terkait itu," ujar dia
Skema multi tarif merupakan pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan bahan paparan Ditjen Pajak, multi tarif PPN telah dianut oleh banyak negara. Kebijakan ini dianggap memperhatikan rasa keadilan karena pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah.
Negara-negara yang telah menganut multi tarif kebanyakan berada di Eropa. Misalnya, Austria, Kolombia, Republik Ceko, Prancis, Yunani, hingga Turki.
Ditjen Pajak mencatat, tarif PPN di Indonesia yang saat ini 10% relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Brazil contohnya, menerapkan tarif PPN 17%-19%, Argentina 21%, Finlandia 24%, Swedia 25%, dan Hungaria 27%.
Namun, tarif PPN Indonesia cenderung setara dengan beberapa negara berkembang lainnya seperti Vietnam, Mesir, dan Kamboja yakni 10%. Sedangkan beberapa negara tetangga Indonesia justru menerapkan tarif PPN yang lebih rendah yakni Thailand dan Singapura 7% serta Myanmar 5%. Sedangkan Hong Kong, Irak, hingga Kuwait menerapkan tarif 0%.
Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menjelaskan bahwa munculnya rencana kenaikan PPN karena saat ini pemerintah membutuhkan pendanaan yang besar untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. "Belanja negara mengalami peningkatan karena kita memerlukan pengeluaran yang ditujukan untuk penyehatan masyarakat, menjaga masyarakat khususnya di sisi kesehatan. Kemudian yang kedua menjaga supaya ekonominya paling tidak bertahan," kata Suryo kepada wartawan, Senin (10/5).
Wacana tersebut pun menuai kritik. Pemerintah diminta menunda keputusan menaikan tarif PPN dan mengkaji berbagai alternatif untuk menambah penerimaan negara.
Ekonom Senior Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan, salah satu alternatif untuk menambah penerimaan negara dengan menarik pajak orang super kaya. "Butuh dukungan politik yang kuat jika ini diberlakukan di Indonesia," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (11/5).