Pemerintah menerbitkan surat utang syariah atau sukuk global senilai US$ 3 miliar atau setara Rp 44,8 triliun. Melalui transaksi ini, pemerintah antara lain memperpanjang sukuk tenor 30 tahun yang sudah jatuh tempo.
Berdasarkan keterangan resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan di Jakarta, Kamis (3/6), penerbitan sukuk global tersebut terdiri atas US$ 1,25 miliar dengan tenor 5 tahun, US$ 1 miliar dengan tenor 10 tahun, dan US$ 750 juta dengan tenor 30 tahun. Sukuk ini diterbitkan dalam format 144A/Reg S Trust Certificate dengan akad wakalah yang jatuh tempo pada tahun 2026, 2031 dan 2051 (Sukuk Wakalah).
Sukuk Wakalah diterbitkan pemerintah melalui Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Indonesia III. Penerbitan sukuk global kali ini akan dicatatkan di Singapore Stock Exchange dan NASDAQ Dubai.
Transaksi ini telah diberikan peringkat Baa2 oleh Moody’s Investor Service, BBB oleh S&P Global Ratings Services dan BBB oleh Fitch Ratings. Adapun setelmen akan dilaksanakan pada 9 Juni 2021.
Penerbitan sukuk ini mendapat respons positif dari investor sejak dimulainya bookbuilding. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk menekan harga penawaran akhir , menjadi 1,50% untuk tenor 5 tahun, 2,55% untuk tenor 10 tahun dan 3,55% untuk tenor 30 tahun. Harga penawaran awal atau initial price guideline pada transaksi ini yaitu 1,90% untuk tenor 5 tahun, 3% untuk tenor 10 tahun, dan 4% untuk tenor 30 tahun.
Sukuk Wakalah diterbitkan pada harga par dengan imbal hasil (yield) dan kupon sebesar 1,5% untuk tenor 5 tahun, 2,55% untuk tenor 10 tahun dan 3,55% untuk tenor 30 tahun. Jumlah order book tercatat pada US$ 10,3 miliar atau sebesar 3,43 kali target pemerintah sebesar US$ 3 miliar.
Dalam transaksi ini, pemerintah memperkenalkan format sukuk hijau tenor 30 tahun untuk pertama kalinya di Tanah Air dan dunia. Sukuk hijau ini juga merupakan sukuk global keempat yang diterbitkan berdasarkan ROI Green Bond and Sukuk Framework.
Kementerian Keuangan juga mencatat sebagian investor sukuk tenor 5 tahun paling berasal berasal dari Asia noninvestor syariah dengan porsi mencapai 34%, sedangkan porsi investor syariah asal Timur Tengah dan Malaysia mencapai 33%. Sedangkan investor indonesia mengambil porsi 16%, investor Eropa 10%, dan investor Amerika Serikat 7%. Menurut jenis investor, perbankan menyerap sebesar 41%,bank sentral/sovereign wealth funds/agency 30%, pengelola dana 23%, asuransi/dana pensiun 4%, serta lainnya sebesar 2%.
Sukuk tenor 10 tahun paling banyak diserap oleh investor Asia nonsyariah mencapai 35%, investor syariah 29%, investor Eropa 18%, investor Amerika Serikat 12%, dan investor Indonesia 6%. Menurut jenis investor, 40% sukuk diserap oleh pengelola dana, 36% bank, 12% bank sentral/sovereign wealth funds/agency, 10% asuransi/dana pensiun.dan 2% bank swasta dan lainnya.
Sementara itu, 34% sukuk tenor 30 tahun diserap investor Asia nonsyariah, 27% investor Amerika Serikat, 25% investor Eropa, 8% investor syariah (Timur Tengah dan Malaysia), dan 6% investor Indonesia. Menurut jenis investor, 63% sukuk diserap oleh pengelola dana, 19% bank, 12% asuransi/dana pension, 5% bank sentral/sovereign wealth funds/agency, dan 1% bank swasta dan lainnya.
Joint lead manager dan join bookrunner dalam transaksi ini yaitu CIMB, Citibank, Dubai Islamic Bank, HSBC, dan Standard Chartered. HSBC dan Standard Chartered bertindak sebagai joint green structuring advisor. PT BRI Danareksa Sekuritas dan PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk bertindak sebagai co-manager untuk transaksi ini.
Kemenkeu pada April lalu meraih Climate Bonds Awards 2021 atas penerbitan sukuk hijau atau green sukuk terbesar di dunia. Indonesia menerbitkan sukuk hijau senilai US$ 750 juta atau setara Rp 10,53 triliun pada tahun lalu. "Ini merupakan pengakuan publik kepada semua organisasi dan pemerintah yang berada di garis depan dalam melakukan capital shifting menuju solusi rendah karbon dan transisi yang lebih besar ke nol-bersih," ujar CEO Climate Bonds Initiative Sean Kidney dalam keterangan resmi, akhir April 2021.