Pemerintah berencana mengubah kebijakan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan menaikkan tarif, mengubah skema, dan mengurangi jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari objek pajak. Kementerian Keuangan menyebut pengecualian yang terlalu banyak dari objek pajak PPN selama ini menyebabkan kinerjanya berada di bawah rata-rata negara Asia.
Kinerja PPN tercermin. dari C-efficiency ratio. Berdasarkan bahan paparan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, Indonesia saat ini memiliki C-efficiency ratio sebesar 49,35%. Sedangkan, rata-rata kinerja PPN negara-negara di Asia yakni 49,72%.
Selain Indonesia, beberapa negara yang memiliki C-efficiency ratio di bawah rata-rata Asia yakni Laos, India, Bangladesh, Pakistan, Filipina, dan Myanmar. Sementara Thailand, Vietnam, Singapura, Jepang, Korea, dan Malaysia memiliki kinerja PPN di atas rata-rata.
Pandemi ini merupakan kesempatan yang baik untuk memikirkan ruang optimalisasi penerimaan PPN. "Jadi ini bukan kebijakan yang tiba-tiba tetapi sudah ada kajian yang bertahun-tahun dilakukan. Hanya saja, eksekusi selalu tertunda karena butuh Undang-Undang, sehingga butuh proses politik," ujar dia dalam Webinar Arah Kebijakan Pajak Di Kala Pandemi, Jumat (11/6).
Ia menjelaskan, pemerintah saat ini telah menuangkan ide optimalisasi penerimaan PPN dalam Rancangan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Beleid tersebut masih berada di tangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan belum bahkan dibacakan dalam sidang paripurna, serta masih akan melalui proses pembahasan di DPR. Dengan begitu, RUU KUP masih dapat memperoleh masukan dari berbagai pihak.
"Jadi tidak benar kalau dalam waktu dekat akan ada pajak sembako atau jasa pendidikan dan kesehatan besok, lusa, atau bulan depan. Tahun ini tidak akan dipajaki," katanya.
Saat ini, menurut dia, masyarakat sebenarnya menikmati berbagai insentif perpajakan. Pemerintah tak secara agresif memungut pajak selama pandemi Covid-19.
Yustinus memastikan bahwa kebijakan tarif PPN akan tetap menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Peningkatan tarif PPN akan menyasar kepada barang-barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas.
Wacana peningkatan tarif PPN menuai kritik dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Tauhid Ahmad mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN sebaiknya diurungkan.
Ia menyebutkan, kenaikan ini akan menjadi beban masyarakat karena harga barang/jasa akan semakin mahal. Sementara, daya beli masyarakat masih lemah akibat pandemi Covid-19. “Kalau PPN dinaikkan, maka bukan hanya masyarakat yang terbebani, pengusaha juga akan dirugikan karena menurunnya konsumsi masyarakat yang mengakibatkan volume penjualan juga turun,” kata Tauhid kepada Katadata.co.id, awal Mei 2021.
Tauhid mengatakan, daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih. Apalagi, ekonomi Indonesia saat ini masih dalam pemulihan di tengah pandemi. “Justru aneh, di tengah pemulihan kok malah PPN dinaikkan. Kalau begini, pajak bukan lagi berfungsi untuk meningkatkan perekonomian, tapi akan menjadi beban,” kata dia.
Dia menambahkan, jika memang ada kenaikkan, harus mempertimbangkan kemampuan konsumen dan dampaknya bagi pengusaha. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak jangka pendek dan menengah dari kebijakan ini.
Dalam draf RUU KUP yang diperoleh Katadata.co.id, tarif PPN akan naik dari saat ini 10% menjadi 12%. Namun, tarif dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah juga dapat mengenakan tarif PPN berbeda dari tarif tersebut atas penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak tertentu, impor barang kena pajak tertentu, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean dan dalam daerah pabean. Tarif berbeda dikenakan paling rendah 5% dan paling tinggi 25%.
Namun, pemerintah berencana menghapus beberapa jenis barang dan yang tidak dikenai pajak, yakni barang hasil pertambangan dan pengeboran, serta kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak. Selain itu, terdapat beberapa jenis jasa yang juga dihapus dari daftar yang tidak dikenai PPN, antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, keuangan, asuransi, dan pendidikan.