Lanjutan Tax Amnesty, Program Kepatuhan Sukarela RUU KUP Berbeda Tarif

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Pemerintah memastikan program peningkatan kepatuhan wajib pajak yang akan diterapkan pemerintah berbeda dengan tax amnesty pada 2016.
11/6/2021, 18.27 WIB

Tax amnesty alias pengampunan pajak kembali memantik kehebohan. Namun, pemerintah menjelaskan adanya program peningkatan kepatuhan sukarela sebagai tindak lanjut pengampunan pajak alias tax amnesty dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Meski hampir serupa, Kementerian Keuangan menilai kegiatan tersebut akan berbeda dengan tax amnesty jika dilihat dari tarifnya.

"Tarifnya akan tinggi, tidak sebagaimana tax amnesty waktu itu," ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam Webinar Arah Kebijakan Pajak Di Kala Pandemi, Jumat (11/6).

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah mengatur tiga lapisan tarif tebusan berdasarkan periode pelaksanaan amnesti pajak jilid pertama. Pada periode I yang berlangsung 1 Juli 2016 - 30 September 2016, tarif tebusan dipatok 2% untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri dan 4% untuk deklarasi luar negeri.

Pada periode 2 1 Oktober 2016 - 31 Desember 2016, tarif tebusan dipatok 3% untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri dan 6% untuk deklarasi luar negeri. Sementara pada periode 3 yang dilaksanakan pada 1 Januari 2017 - 31 Maret 2017, tarif tebusan diparok 5% untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri dan 10% untuk deklarasi luar negeri.

Selain tarif yang tinggi, program peningkatan kepatuhan sukarela akan menghapus hukuman pidana untuk wajib pajak. Ia pun menegaskan bahwa program tersebut berbeda dengan tax amnesty yang dilaksanakan pada 2016.

Yustinus memastikan hanya wajib pajak yang patuh dan jujur yang bisa mengikuti program peningkatan kepatuhan sukarela. "Jadi bukan jilid-jilidan lagi, tapi upaya menindaklanjuti apa yang dulu belum tuntas supaya dituntaskan dalam program ini," katanya.

Berdasarkan draf RUU KUP yang diperoleh Katadata.co.id, tarif yang akan dikenakan dalam tax amnesty jilid II akan lebih besar dibandingkan yang pertama, yakni mencapai 12,5% hingga 30%. Pengampunan pajak akan dibagi kedalam dua golongan. Pertama, pengakuan harta yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 yang kurang atau belum diungkapkan saat tax amnesty jilid pertama.

Kedua, pengakuan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2019 yang kurang atau belum diungkapkan dalam surat pemberitahuan pajak tahunan.

"Wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud," demikian tertulis dalam Pasal 37 B ayat 1 Draf RUU KUP.

Harta bersih yang merupakan nilai harta dikurangin nilai utang dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Adapun tarif yang dikenakan untuk pengungkapan harta sebelum amnesti pajak pertama sebesar 15% atau 12,5% jika wajib pajak menyatakan akan menginvestasikan harta bersih ke instrumen surat berharga negara.

Sementara untuk pengungkapan harta yang diperoleh tahun 2016 hingga 2019, dikenakan tarif 30% atau 20% jika wajib pajak orang pribadi menginvestasikan hartanya ke instrumen surat berharga. 

 Penempatan harta pada instrumen surat berharga negara untuk memperoleh keringanan tarif harus dilakukan di pasar perdana paling lambat 31 Maret 2022 dan paling singkat lima tahun. WP yang ingin mengungkapkan harta bersih yang diperoleh sebelum atau setelah amnesti pajak jilid pertama dapat menyampaikannya melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Ditjen Pajak Periode 1 Juli 2021 hingga 31 Desember 2021.

Adapun WP yang boleh mengikuti pengungkapan harta tersebut harus memenuhi ketentuan yakni, tidak sedang dilakukan pemeriksaan, tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana perpajakan, tidak sedang dalam peradilan ataupun menjalani hukuman pidana perpajakan.

Usulan pengampunan pajak dianggap blunder pemerintah untuk mendongkrak penerimaan negara. “Ya buat apa bayar pajak. Toh, pemerintah memberikan tax amnesty berjilid-jilid,” kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira kepada Katadata.co.id, akhir Mei 2021.

Pemberian amnesti pajak jilid dua,menurut dia, hanya menimbulkan dampak negatif ke perekonomian. Dalam pelaksanaannya yang pertama, tidak terbukti dapat meningkatkan penerimaan negara jangka panjang.

Terbukti, pada periode 2018 sampai 2020, rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3%. “Rasio pajak bukannya naik, malah melorot terus. Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty,” ujar Bhima.

Reporter: Agatha Olivia Victoria